Klaten Bersinar
Selamat Datang di Klaten Bersinar

ICW: Putusan MA Bebaskan Syafruddin dalam Kasus BLBI adalah Dagelan Hukum

Keputusan MA melepaskan Syafruddin Arsyad Tumenggung dalam kasus BLBI dinilai sebagai 'dagelan hukum'.

Editor: Fachri Sakti Nugroho
Daily Mail
Ilustrasi 

Oleh: Indonesia Corruption Watch

TRIBUNNERS - Dunia peradilan kembali menjadi sorotan. Salah seorang terdakwa dalam kasus korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), Syafruddin Arsyad Tumenggung (mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional), dinyatakan lepas pada pada tingkat Mahkamah Agung.

Padahal pada pengadilan sebelumnya Syafruddin dinyatakan telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah dalam perkara ini, sehingga yang bersangkutan dijatuhi hukuman selama 15 tahun penjara.

Tentu putusan ini akan berimplikasi serius pada tingkat kepercayaan publik pada lembaga peradilan.

Kasasi Dikabulkan MA, Terdakwa Kasus BLBI Syafruddin Temenggung Bebas

Sebagai informasi, Syafruddin diketahui telah memperkaya salah satu obligor, Sjamsul Nursalim (Pemegang Saham Pengendali Bank Dagang Nasional Indonesia) sebesar Rp 4,58 triliun atas dasar pengeluaran Surat Keterangan Lunas.

Padahal yang bersangkutan mengetahui aset yang dijaminkan oleh Nursalim berstatus misrepresentasi, sehingga tidak layak diberikan SKL.

Pengeluaran SKL ini berdampak serius, karena mengakibatkan hak tagih negara menjadi hilang pada Nursalim.

Jumlah kewajiban Sjamsul Nursalim adalah sebesar Rp 47,2 triliun (angka ini diperoleh berdasarkan kucuran BLBI yang diterima oleh BDNI dan total dana nasabah).

Pada masa itu Nursalim mengklaim memiliki aset sebesar Rp 18,8 triliun, salah satunya diperoleh dari pinjaman petani/petambak PT Dipasena sebesar Rp 4,8 triliun.

Jadi jumlah kewajiban Nursalim dikurangi dengan aset yang ia miliki adalah senilai Rp 28 triliun.

Persoalan pun timbul, aset senilai Rp 4,8 triliun yang dijaminkan Nursalim kepada negara untuk melunasi utang-utangnya ternyata bermasalah.

Kesimpulan ini bukan tanpa dasar, saat itu BPPN telah melakukan dua model audit, yakni Financial Due Dilligence dan Legal Due Dilligence, yang mana kesimpulannya menerangkan bahwa aset ini dikategorikan sebagai misrepresentasi atau sederhananya tidak sesuai dengan nilai yang disebutkan.

Tentu ini menimbulkan persepsi bahwa ada niat jahat (mens rea) dari Nursalim untuk berupaya mengelabui negara atas pelunasan utangnya.

Selang waktu enam tahun kemudian, tepatnya pada Februari 2004 diadakan rapat kabinet terbatas yang dihadiri Presiden untuk membahas usulan dari Syafruddin yang meminta agar sisa utang Nursalim dihapus.

Padahal yang bersangkutan mengetahui secara jelas bahwa aset senilai Rp 4,8 triliun milik Nursalim itu sedari awal bermasalah berdasarkan penjelasan audit di atas.

Sumber: Tribunnews.com
Halaman 1 dari 3
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved