Mencicipi Sajian Khas Cap Go Meh, Lontong Cap Go Meh, di Pasar Gede Solo
Dalam sepiring lontong Cap Go Meh, rasa gurih manis sayur mendominasi dipadu dengan kelembutan suwiran daging ayam.
Penulis: Imam Saputro | Editor: Daryono
Laporan Wartawan TribunSolo.com, Imam Saputro
TRIBUNSOLO.COM, SOLO - Cap Go Meh atau hari ke lima belas dari bulan pertama di penanggalan Tionghoa dirayakan dengan berbagai jamuan.
Salah satunya yang khas adalah lontong Cap Go Meh.
Lontong Cap Go Meh merupakan satu sajian yang terdiri dari lontong, opor ayam, sayur dan bubuk kedelai.
“Ini seperti kalau orang Islam lebaran ketupat, di Tionghoa kita menyantap lontong Cap Go Meh ini,” ujar pejual Lontong Cap Go Meh di Pasar Gede, Solo, Hardjo Tjendono, Sabtu(11/2/2017).
Di kedai milik Hardjo Tjendono, Lontong Cap Go Meh disajikan dengan tiga sayur, sayur pepaya muda dan tempe, sayur ati ampela dan sayur rebung.
Kemudian ditambah dengan opor ayam dan telur.
Terakhir ditaburi kelapa muda yang telah disangrai dan bubuk kedelai.
Dalam sepiring lontong Cap Go Meh, rasa gurih manis sayur mendominasi dipadu dengan kelembutan suwiran daging ayam.
Sementara taburan bubuk kedelai semakin menambah cita rasa gurih.
Warna merah dari sayur rebung dan sayur ati ampela memberikan sedikit rasa pedas dalam sesuap Lontong Cap Go meh.

Dan sebutir telur utuh dalam piring turut memperkaya cita rasa dalam sepiring Lontong Cap Go Meh.
“Kita jual lontong ini, tiga hari, tanggal 14,15, dan 16 saja, “ terang Hardjo Tjendono.
“Dalam sehari kita menyediakan 50-an lontong, paling siang hari sudah habis,” tambahnya.
Dipercaya pula bahwa Lontong Cap Go Meh mengandung perlambang keberuntungan, misalnya lontong yang padat dianggap berlawanan dengan bubur yang encer.
Hal ini karena ada anggapan tradisional Tionghoa yang mengkaitkan bubur sebagai makanan orang miskin atau orang sakit.
Bentuk lontong yang panjang juga dianggap melambangkan panjang umur.
Kemudian telur, dalam kebudayaan apapun selalu melambangkan keberuntungan.
Sementara kuah santan yang dibubuhi kunyit berwarna kuning keemasan, melambangkan emas dan keberuntungan.
Di kedai Hardjo Tjendono, lontong Cap Go Meh dibanderol Rp 30.000 per porsinya.
Dikutip dari Kompas.com, Lontong Cap Go Meh merupakan bentuk kuliner adaptasi peranakan China di Nusantara.
“Lontong Cap Go Meh ini bentuk makanan adaptasi, bentuk baru untuk kaum Peranakan, bukan menggantikan, mereka menghormati tradisi masyarakat setempat (di pesisir Laut Jawa),” kata pemerhati budaya China, Agni Malagina kepada KompasTravel, Senin (6/2/2017).
Agni menceritakan lontong Cap Go Meh sendiri adalah hanya ditemukan di pesisir Laut Jawa.
Di daerah-daerah peranakan China lain seperti di Singkawang, Palembang, atau Bangka Belitung tak ada, dikarenakan asimilasi budaya tak sekuat di Jawa.
Dahulu, imigran China di pesisir Laut Jawa tinggal dan lalu mengadopsi kebudayaan setempat.
Sebagaimana pendatang, imigran China pun memperkenalkan segala jenis pengetahuan yang dibawa dari negeri asalnya.
Ia menceritakan Lontong Cap Go Meh berasal dari kebiasaan dari santri menyantap ketupat dan opor ayam.
Banyaknya versi cerita asal usul lontong Cap Go Meh pun diakui oleh Agni.
Namun, meski banyaknya cerita itu, lontong Cap Go Meh telah menambah ragam kuliner nusantara.(*)