Klaten Bersinar
Selamat Datang di Klaten Bersinar

Faisal Basri Tulis 6 Poin untuk Redam Kemerosotan Rupiah, Singgung Menteri yang Kerap 'Kebobolan'

Faisal Basri juga menyarankan agar anggota dewan untuk sementara tak melakukan studi banding.

Penulis: Hanang Yuwono | Editor: Hanang Yuwono
Tribunnews.com/Seno Tri Sulistiyono
Faisal Basri 

TRIBUNSOLO.COM -- Rupiah melemah menjadi bahasan hangat masyarakat Indonesia.

Beberapa menyebut, tren pelemahan rupiah yang levelnya hampir mencapai Rp 15.000 per dollar AS sebagai cerminan bahwa ada yang tidak beres dengan perekonomian Indonesia belakangan ini.

Lantaran nilai tukar rupiah mencapai titik terlemah sejak 10 tahun silam saat Indonesia diterpa badai krisis ekonomi.

Nilai tukar ini juga lebih buruk daripada posisi terlemah pada 29 September 2015.

Terkait hal tersebut, sejumlah pakar ekonomi Tanah Air pun memberikan pernyataannya, salah satunya adalah Faisal Basri.

Melalui situs pribadinya, faisalbasri.com, ia memposting sebuah artikel berjudul 'Untuk Meredam Kemerosotan Rupiah, Mulailah dengan yang Sekarang Juga Bisa Dilakukan'.

Dalam artikel yang dipublish pada Rabu (4/9/2018), dia memberikan saran apa yang harus dilakukan pemerintah untuk meredam kemorosotan nilai tukar rupiah.

Lulusan Master of Arts (M.A.) dalam bidang ekonomi, Vanderbilt University, Nashville, Tennessee, Amerika Serikat ini menyampaikan 6 poin untuk koreksi pemerintah.

Berikut rangkumannya:

1. Menambah dosis kenaikan suku bunga acuan.

Menurut Basri, dosis kenaikan suku bunga acuan (BI 7-day repo rate) belum memadai untuk mengobati penyakit yang bertambah kronis.

Dosis perlu segera ditambah dengan kenaikan suku bunga acuan severas 50 basis poin agar cadangan devisa tidak terlalu banyak terkikis.

2. Petinggi negeri, jangan ternak dollar!

Kedua, kata Basri, pemerintah harus segera melakukan “imbauan moral” agar para petinggi negeri mengorbankan ternak dollarnya.

"Sangat tidak elok jika peternakan milik para pengelola negara sampai mencapai ratusan ribu dollar AS, bahkan ada yang mencapai jutaan dollar AS," tulis Basri.

3. Hemat belanja valuta asing

Ada beberapa cara untuk berhemat belanja valuta asing.

Yakni dengan tidak melakukan studi banding keluar negeri, menekan jumlah delegasi ke luar negeri, menyeleksi ketat perjalanan luar negeri oleh pejabat negara dan jajaran BUMN, melarang BUMN menggelar tarvel fair seraya menggalakkan wisata domestik, dan melarang BUMN melakukan pembayaran dalam dollar.

4. Buka pasar baru di luar negeri

Keempat menurut pria kelahiran Jawa Barat, 6 November 1959 ini, pemerintah bisa menargetkan seluruh perwakilan di luar negeri untuk memperluas serta membuka pasar baru di masing-masing negara tempat bertugas.

5. Jadwal ulang proyek strategis

Menutur Basri, saat ini pemerintah perlu menjadwal ulang proyek-proyek strategis sekalipun terutama yang boros devisa, termasuk belanja pertahanan.

Jika kondisi sudah normal kembali, belanja yang tertunda bisa diperhitungkan.

6. 'Bersih-bersih dapur'

Faisal Basri juga menyarankan Presiden Jokowi bersih-bersih dapur jika diperlukan.

Dalam hal ini adalah menertibkan para menteri yang dianggap kerap salah langkah.

"Pembersihan dapur rumah sendiri dengan menertibkan (kalau perlu memecat) para menteri yang membuat pasar domestik sering kebobolan."

"Patut diduga, praktek-praktek pemburuan berada di balik arus impor yang semakin deras," tulis Basri.

Artikel selengkapnya bisa klik di link berikut ini: https://faisalbasri.com/2018/09/04/untuk-meredam-kemerosotan-rupiah-mulailah-dengan-yang-sekarang-juga-bisa-dilakukan/

Rizal Ramli Sebut Perekonomian Indonesia 'Lampu Kuning'

Pada saat hampir bersamaan, mantan Menteri Keuangan Rizal Ramli masih konsisten menyampaikan status perekonomian Indonesia lampu kuning atau harus berhati-hati.

Dasar pernyataan tersebut dari sejumlah indikator ekonomi makro yang negatif.

Dilansir TribunSolo.com dari Kompas.com, indikator yang dimaksud adalah defisit neraca transaksi berjalan, defisit neraca perdagangan, keseimbangan primer yang masih negatif, hingga defisit APBN.

"Fundamental tidak kuat karena semua indikator itu negatif."

"Kalau kuat, semuanya mengarah ke arah positif," ujar Rizal.

Rizal turut membandingkan kondisi ekonomi Indonesia waktu krisis tahun 1998 silam dengan saat ini.

Kala itu, meski dilanda krisis, Indonesia mendapat manfaat positif dari melonjaknya peningkatan ekspor yang dampaknya baik untuk mendorong perekonomian dalam negeri.

Sementara saat ini, Rizal menilai Indonesia tidak bisa mendapatkan keuntungan sebesar itu dari ekspor.

Malahan, impor justru tumbuh lebih tinggi dibanding ekspor yang membuat neraca perdagangan lebih banyak mengalami defisit sejak awal tahun.

"Saat krisis, lonjakan ekspor besar sekali."

"Tapi hari ini kita tidak punya bantalan lagi."

"Rupiah melemah tidak ada dampaknya terhadap ekspor," ucap Rizal.

Selain itu, Rizal juga menyoroti upaya pemerintah menyikapi pelemahan rupiah dengan pengendalian 900 komoditas impor barang konsumsi.

Menurut dia, ketimbang menyisir ratusan komoditas impor barang konsumsi seperti itu, lebih baik fokus pada impor yang jumlahnya besar, misalkan 10 komoditas impor terbesar.

"Ngapain ribet-ribet sampai 900, tinggal pilih 10 saja yang besar-besar."

Inilah makanya saya lihat menteri-menteri Pak Jokowi jangan cuma sampaikan yang bagus-bagus, tapi kondisi yang sebenarnya," sebut Rizal.

Bank Indonesia sebelumnya menyampaikan, nilai tukar rupiah terhadap dollar AS hingga hari Selasa mengalami depresiasi di kisaran 7 sampai 8 persen sejak awal tahun.

Cadangan devisa juga telah tergerus 13,7 miliar dollar AS, dengan posisi Januari 132 miliar dollar AS dan terakhir bulan Juli sebesar 118,3 miliar dollar AS. (*)

Sumber: TribunSolo.com
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved