Klaten Bersinar
Selamat Datang di Klaten Bersinar

Sujiwo Tejo Kritik Pihak yang Mengukur Kemampuan Kepemimpinan Melalui Tolak Ukur Sembahyang

Sujiwo Tejo memberikan kritik terhadap kondisi bangsa melalui gurauan dan cara yang nyentrik, apakah kritiknya senyentrik penampilannya?

Penulis: Fachri Sakti Nugroho | Editor: Fachri Sakti Nugroho
Tribun Jateng/Wahyu Sulistiyawan
Budayawan dan seniman, Sudjiwo Tejo menyampaikan deklarasi budaya di kampus Universitas PGRI Semarang, Kota Semarang, Jawa Tengah, Selasa (28/10/2014). Dalam deklarasinya, Sujiwo Tejo menyampaikan perkembangan budaya di era modern. (Tribun Jateng/Wahyu Sulistiyawan) 

TRIBUNSOLO.COM - Seniman sekaligus budayawan Sujiwo Tejo berkicau tentang tolak ukur memilih presiden.

Hal ini disampaikan oleh Sujiwo Tejo melalui kicauan Twitternya, Kamis (13/12/2018).

Dalam kicauannya, Sujiwo Tejo mengungkapkan tentang percakapan para Punawakawan.

Punakawan ini terdiri dari Semar, Gareng, Petruk dan Bagong.

Mahfud MD Sampaikan Duka kepada Said Didu, Sujiwo Tedjo Justru Bangga

Tentunya, percakapan tersebut sarat makna dan kritik sosial.

Sebagaimana diketahui, Sujiwo Tejo yang kerap tampil nyentrik ini memang kerap mengkritik lewat gurauan, parodi maupun lewat karya-karya yang ia ciptakan.

Dalam percakapan tersebut, Gareng mengatakan bahwa untuk mengukur sesuatu perlu memakai alat ukur yang tepat.

Seperti saat mengukur panjang, maka alat ukurnya adalah meteran, bukan memakai termometer.

Menanggapi pernyataan Gareng, Petruk setuju dan menimpali bahwa termometer adalah alat untuk mengukur suhu tubuh.

Bagong kemudian menyeletuk di antara Gareng dan Petruk dan meminta kedua saudaranya itu untuk tidak berbasa-basi.

"Halah bilang aja 'mau milih presiden kok ukurannya bisa memimpin sembahyang atau tidak'. Gitu aja kok repot!," kata Bagong.

Sedangkan Semar yang mengetahui percakapan ketiga anaknya tersebut hanya tertawa.

Berikut ini percakapan lengkapnya Punokawan yang dikicaukan oleh Sujiwo Tejo.

"Gareng: Mau ngukur panjang ya pakai meteran. Jangan pakai termometer.

Petruk: Setuju. Termometer itu untuk ngukur suhu bodi.

Bagong: Halah bilang aja “mau milih presiden kok ukurannya bisa memimpin sembahyang/tidak” . Gitu aja kok repot!

Semar: Heuheuheu," kicau Sujiwo Tejo.

Akui Foto Jokowi & Keluarga Sangat Artistik, Sujiwo Tedjo Ingatkan Hal Ini dan Sebut Nama Tompi

Penjelasan brilian Sujiwo Tejo tentang radikalisme

Sujiwo Tedjo ikut memberikan tanggapan terkait data yang menyebutkan adanya 41 masjid yang terpapar radikalisme.

Pernyataan Sujiwo Tedjo tersebut disampaikan di acara Indonesia Lawyers Club Tv One, Selasa (27/11/2018).

Dikatakan oleh Sujiwo Tejo, radikalisme tidaklah seperti yang terlihat kasat mata.

Radikalisme tidak melulu berbentuk ucapan atau perbuatan yang keras dan kasar.

Anggap Pilpres 2019 Telah Selesai, Sujiwo Tedjo: Kubu yang Kalah Merapat, yang Menang Merangkul

Ada beberapa hal yang terlihat halus dan tenang namun sebetulnya ada sisi radikal di dalamnya.

Sujiwo Tedjo mencontohkan seperti adanya kemiskinan yang tersistematis.

"Kadang kita melihat yang kasat mata, yang tak kasat mata tak dilihat," kata Sujiwo Tedjo.

"Jadi radikal itu arti sebetulnya akar, jadi gerakan radikal adalah gerakan kembali ke akar."

"Jadi akar seluruh agama adalah kasih sayang tapi kok sekarang jadi kekerasan, oke saya ikut yang mayoritas bahwa radikalisme adalah kekerasan."

Sujiwo Tedjo kemudian memberikan analogi tentang radikalisme yang kasat mata dan tak kasat mata.

"Kalau Pak Karni melihat perempuan makan steak sama melihat macan makan kijang, mana yang keras, mana yang radikal," kata Sujiwo Tedjo.

"Pasti orang bilang macan, padahal intinya sama, sebelum jadi steak itu dijagal disembelih."

"Artinya, dengan kebudayaan, pemiskinan, tidak kelihatan keras, tetapi aksi teror kelihatan keras."

"Orang yang terbunuh karena terorisme dan yang terbunuh karena pemiskinan sistematis tidak dianggap sebagai kekerasan."

"Jadi bagi saya jangan-jangan yang terjadi selama ini adalah ada khotib yang tenang, ada khotib yang tidak tenang."

"Jadi hati-hati melihat radikalisme, jangan-jangan semuanya itu radikal."

"Dalam tinjauan kebudayaan sama saja, yang satu buat tenang, tapi banyak orang miskin."

"Atau membuat gak tenang, kemiskinan harus diperjuangkan, karena memang harus diperjuangkan."

Simak videonya di bawah ini.

(*)

Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved