Klaten Bersinar
Selamat Datang di Klaten Bersinar

Napak Tilas Kaum Tionghoa di Solo, Ini Alasan Pemukiman ada di Dekat Benteng Vastenburg

Sejarah panjang mengenai keberadaan masyarakat Tionghoa di Solo memang sudah bermula dari ratusan tahun lalu.

Penulis: Astini Mega Sari | Editor: Aji Bramastra
TRIBUNJATENG/SUHARNO
Sejumlah barongsai memeriahkan acara Grebeg Sudiro di Solo, Minggu (31/1/2016). Grebeg Sudiro merupakan acara menyambut tahun baru Imlek dan merupakan wujud alkulturasi di Solo khususnya di Kelurahan Sudiroprajan, Jebres. TRIBUN JATENG/SUHARNO 

TRIBUNWOW.COM - Sejarah panjang mengenai keberadaan masyarakat Tionghoa di Solo memang sudah bermula dari ratusan tahun lalu.

Dosen Ilmu Budaya Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Tundjung W Sutirto mengatakan bahwa belum ada referensi yang dapat menarasikan secara komprehensif kapan dan siapa orang Tionghoa yang pertama kali bermukim di Solo.

"Namun, kalau merujuk pada sejarah Surakarta, maka bisa dijelaskan bahwa hadirnya masyarakat Tionghoa ke Solo tidak bisa lepas dari perpindahan Kerajaan Kartosura ke Surakarta pada 1745," papar Tundjung saat dihubungi Tribun, Jumat (1/1/2019).

"Sebenarnya di akhir masa Kerajaan Pajang, komunitas Tionghoa itu sudah ada tapi pada waktu itu masih merupakan tentara bayaran."

7 Makanan yang Selalu Ada saat Perayaan Imlek, Setiap Makanan Dianggap Simbol Keberuntungan

Pada masa Kerajaan Kartasura, komunitas Tionghoa yang ada merupakan migran dari Batavia atau Jakarta.

"Penguasa kerajaan saat itu, Pakubuwono II dan Patih Notokusumo sangat mengapresiasi kesuksesan komunitas Tionghoa dalam menata perekonomian masyarakat di Kartosura. Maka saat Kerajaan Kartosura pindah ke Surakarta sebagai akibat dari krisis politik Geger Pecinan, banyak warga Tionghoa ikut pindah ke Surakarta," jelas Tundjung.

Tundjung menuturkan saat masa kolonial Belanda muncul politik segresi etnis yang kemudian membuat komunitas Tionghoa ditempatkan di suatu wilayah yang sekarang dikenal dengan Kampung Sudiroprajan.

Dalam kirab tersebut terdapat satu naga atau liong dengan warna kemerahan yang berasal dari Paguyuban Barongsai Macan Putih dari Sudiroprajan.
Dalam kirab tersebut terdapat satu naga atau liong dengan warna kemerahan yang berasal dari Paguyuban Barongsai Macan Putih dari Sudiroprajan. (TribunSolo.com/Imam Saputro)

Ditempatkannya komunitas Tionghoa di Sudiroprajan yang terletak tak jauh dari Benteng Vastenburg itu bukan tanpa alasan.

Dosen Ilmu Budaya UNS, Susanto mengatakan pada waktu itu masyarakat Tionghoa adalah partner dagang Belanda.

Itulah mengapa masyarakat Tionghoa ditempatkan tak jauh dari benteng buatan Belanda.

Imlek di Solo, Pengunjung Sesaki Kawasan Pasar Gede Demi Melihat Kirab Grebeg Sudiro

"Ciri khas benteng, itu pasti di sekitarnya ada pemukiman Tionghoa karena waktu itu mereka adalah partner dagang Belanda," jelas Susanto saat ditemui Tribun di Fakultas Ilmu Budaya UNS, Jumat (25/1/2019).

"Bisa dilihat di Tegal, di Jepara, di Semarang juga sama, di sekitarnya pasti ada pemukiman Tionghoa,” imbuhnya.

Akulturasi Budaya

Akulturasi budaya Jawa dengan Tionghoa sendiri sudah berlangsung sejak lama, dimulai ketika masyarakat Jawa dan Tionghoa hidup bersama.

“Akulturasi tentu melalui sebuah proses yang waktunya panjang sehingga sejak adanya pertemuan dua budaya maka sejak itulah terjadi akulturasi. Jadi kalau melihat lagi sejarah keberadaan Tionghoa di Solo ya berarti akulturasi itu berlangsung sudah sangat lama,” ucap Tundjung.

Penjual Topeng Barongsai Imlek di Pasar Gede Solo, Kulak dari Cirebon, Cuan Pun Lumayan

Bentuk akulturasi budaya Jawa dan Tionghoa itupun beragam dan banyak dijumpai di kehidupan sehari-hari.

Seporsi bakmi komplit spesial di Bakmitopia, Kemanggisan, Jakarta.
Ilustrasi bakmi ((KOMPAS.COM / MUHAMMAD IRZAL ADIAKURNIA))

“Misalnya dalam hal penamaan di dunia kuliner banyak yang memakai nama Tionghoa seperti bakmi, bakpao, bakso, yang aslinya di China itu semua makanan dengan unsur ‘bak’ itu ada unsu babi. Oleh karena itu di Solo bertebaran warung bakmi, bakpao, bakso yang tetap diberi predikat Jawa dan tidak mengandung babi seperti milik Tionghoa,” tambah Tandjung.

Sementara dalam seni pertunjukan, ada ketoprak dengan lakon Sam Pek Ing Tei yang diambil dari kesusastraan China.

“Bahkan dulu pada tahun 1939 ada seorang Kapiten Tionghoa yang menggelar pernikahan anaknya dengan adat Jawa,” pungkasnya.

Solo Imlek Festival 2019 Bakal Dimeriahkan Dialog Kebangsaan Haul Gus Dur

Akulturasi budaya itu juga terlihat dari adanya Grebeg Sudiro.

“Grebeg itukan simbol tradisi Jawa untuk menyambut hari-hari besar. Nah Grebeg Sudiro ini kan dimasukkan ke tengah-tengah masyarakat Tionghoa untuk memnyambut Imlek. Ini kan perayaan perpaduan dari Jawa-Tionghoa.”

Diketahui, perayaan Grebeg Sudiro di Solo diawali pada tahun 2007.

Dalam Grebeg Sudiro, gunungan disusun dari kue keranjang yang kemudian diarak di sekitar kawasan Sudiroprajan.

Grebeg Sudiro juga diikuti pawai kesenian Jawa dan Tionghoa seperti, barongsai, tari-tari tradisional hingga kesenian kontemporer. (*)

Sumber: TribunSolo.com
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved