Jumenengan Mangkunegara X
Makna Batik Mangkunegara X Bermotif Parang Seling Lunglungan : Raja yang Gagah,Tegas & Suka Menolong
Batik yang dipakai GPH Bhre Cakrahutomo Wira Sudjiwo saat Jumenengan atau naik tahta Mangkunegara X, ternyata punya makna filosofis.
Penulis: Asep Abdullah Rowi | Editor: Asep Abdullah Rowi
Laporan Wartawan TribunSolo.com, Asep Abdullah Rowi
TRIBUNSOLO.COM, SOLO - GPH Bhre Cakrahutomo Wira Sudjiwo tampil gagah saat menjalani prosesi Jumenengan, atau naik tahta sebagai Mangkunegara X, Sabtu (12/3/2022).
GPH Bhre memakai baju putih dibalut beskap Mangkunegaran, dipadukan dengan blangkon dan sendal slop kulit berwarna hitam.
Pada kedua tangannya tampak cincin dengan batu merah pada tangan kirinya, dan batu hitam pada tangan kanannya, serta memakai jam tangan berwarna emas.
Yang tak kalah menarik, adalah batik pada sinjang (jarik) yang dipakai Bhre.
Pakar batik yang juga Ketua Paguyuban Kampung Wisata Batik Kauman Solo, Gunawan Setiawan, mengatakan, kain batik yang dipakai Bhre bermotif Parang Seling Lunglungan.
"Parang ageman raja (yang dipakai raja), Lunglungan itu bunga yang menjalar," ungkap dia kepada TribunSolo.com, Sabtu (12/3/2022).
Baca juga: Memaknai Pidato Pertama Mangkunegara X GPH Bhre Cakrahutomo, Begini Kata Ahli Sejarah Mengkunegaran
Baca juga: Bahagianya GPH Bhre, Dikukuhkan Jadi Mangkunegara X, Diberi Ucapan Selamat Langsung oleh Jokowi
Secara sederhana, Gunawan mengatakan, batik Parang Seling Lunglungan punya makna filosofis raja yang gagah, tegas, suistainable dan senang menolong.
Gunawan juga menjelaskan, beskap, dasi kupu, hingga blangkon yang dipakai GPH Bhre memang baju khas Mangkunegaran yang selama ini menjadi kebanggaan.
"Itu khas Mangkunegaran, baik beskap atau blangkon," aku dia.
Isi Pidato GPH Bhre
GPH Bhre Cakrahutomo Wira Sudjiwo resmi menjadi Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Mangkunegara X, Sabtu Pahing (12/3/2022).
Mangkunegara X dikukuhkan oleh Prameswari Dalem Gusti Kanjeng Putri Mangkunegara IX.
Adapun prameswari menyematan pusaka keris Kanjeng Kyai Wangkingan membacakan Prasetyo dengan bahasa Jawa.
"Minangka hanetepi adat paugeran saha dhawuh wasiat leluhur Puro Mangkunegaran ing dinten menika 8 Ruwah Alip 1955, surya kaping 12 Maret 2022, Prameswari dalem Gusti Kanjeng Putri Mangkunegoro IX hanetepaken GPH Bhre Cakrahutomo Wira Sudjiwo, SH katetepaken jumeneng KGPAA Mangkunegoro X," tutur Prameswari.

Setelahnya GPH Bhre menyampaikan pidato pertamanya sebagai Mangkunegara X menggunakan bahasa Indonesia disaksikan peserta Jumenengan di Pura Mangkunegara, berikut isinya :
Pura Mangkunegaran telah melalui perjalanan sejarah yang penuh pasang surut. Dan dengan berpegang teguh pada prinsip sateguh sauyub, bersatu teguh dalam kebhinekaan. Bak serumpun tebu yang terikat tetap mampu bertahan hingga saat ini, hingga mampu bertahan sampai saat ini sebagai pusat budaya, sastra, dan falsafah bangsa.
Selain itu hakekat dalam ikatan antara manusia dan budaya tak luput digaungkannya. Ikatan antara manusia dan kebudayaan merupakan salah satu hal yang tidak dapat dipisahkan. Kebudayaan yang terikat satu sama lain dari kegiatan sehari-hari, dari cara menjalankan hidup, dari cara makan, berpakaian, berbicara, berkesenian, juga apa yang dihasilkan.
Baca juga: Misteri Tak Hadirnya GPH Paundra saat GPH Bhre Naik Tahta Jadi Mangkunegara X, Begini Kata Kerabat
Baca juga: Bhre Cakrahutomo Naik Tahta Jadi Mangkunegara X: Presiden Jokowi Hadir, GPH Paundra Tak Terlihat
Saya menyadari bahwa Pura Mangkunegaran memiliki warisan budaya luhur yang tidak serta merta, dapat diturunkan secara biologis. Namun, berusaha mlampahaken (menjalankan), sebagai dapat diwariskan pada generasi yang akan datang.
Saya menjalankan Tri Dharma Mangkunegaran yang meliputi, mulat sarira hangrasawani, rumangsa melu handarbeni, dan melu hangrungkebi. Sasrira Hangrasawani merupakan candrasengkala tahun pendirian Mangkunegaran yaitu tahu 1682 Saka atau 1757 Masehi. Mulat Sarira artinya memahami diri sendiri dengan cara introspeksi diri agar mampu mengatasi berbagai hambatan yang menghalangi perbaikan pribadi.
Serta ajaran kedua dari budaya politik Mangkunegaran adalah rumangsa melu handarbeni. Sebagaimana prinsip Tri Dharma yang kita anut, bersama-sama kita memegang teguh amanah untuk menggali, melestarikan dan mengembangkan warisan budaya tersebut, beserta nilainya. Tidak hanya bagi pura mangkunegaran tetapi juga masyarakat luas.
Selain sebagai salah satu pusat lahir dan berkembangnya kebudayaan, Puro Mangkunegaran harus mampu menjadi satu wadah, jembatan, kolaborator dan teman diskusi bagi seluruh masyarakat baik budayawan, akademisi, pemerintah, maupun lembaga sosial budaya, pelestarian sejarah dan ekonomi.
Pura Mangkunegaran tidak boleh terlena dalam euforia kejayaan masa lalu. Warisan sejarah pura bukan hanya suatu hal yang semata-mata harus dirayakan, melainkan harus diantisipasi pasang dan surutnya agar pura tetap jadi pusat budaya dan sejarah yang tidak tergerus perkembangan zaman.
Saya mengajak seluruh insan masyarakat dan masyarakat indonesia, khususnya Surakarta. Bersama-sama mengamalkan nilai-nilai luhur yang diajarkan kepada kita, melestarikan, dan terus mengembangkan kebudayaan Mangkunegaran.
Memaknai Pidato GPH Bhre
Memaknai pidato tersebut, Ahli Sejarah Mangkunegaran yang sekaligus Pegiat Sejarah dan Budaya, Raden Surojo menjelaskan, jika isinya cukup kompleks.
"Pidato itu merupakan ungkapan kebahagiaan sekaligus mengingatkan kembali Mangkunegaran itu tidak bisa terlepas dari sejarah perjuangan Pangeran Samber Nyawa atau Raden Mas Said," ungkapnya kepada TribunSolo.com.
"Bahwa Mangkunegaran itu didirikan tidak hanya oleh pribadi Mangkunegoro, tapi oleh seluruh pendukung dan keluarga, terutama Keluarga Punggo Baku, terutama dari keluarga Pangeran Samber Nyowo," sambungnya.
Menurutnya titi tibeh adalah istilah yang tepat menggambarkan perjuangan tersebut.
"Jadi ada istilah titi tibeh yang maknanya, walaupun yang berdiri sebagai pemimpin Mangkunegara tidak bisa dilepaskan dari seluruh elemen dan keluarga pendukung," tuturnya.
Menurutnya, semua adalah sebagai pemilik Mangkunegara.
Baca juga: Bahagianya GPH Bhre, Dikukuhkan Jadi Mangkunegara X, Diberi Ucapan Selamat Langsung oleh Jokowi
Baca juga: Saat Sri Sultan HB X Nyeletuk, Jika Jumenengan Mangkunegara X Jadi Ajang Reuni Trah Kerajaan Mataram
"Ibarat tebu satu ikat artinya anteping kalbu yaitu satu hati," terangnya.
"Tebu itu kan merupakan pepatah. Teb itu antep, bu itu kalbu jadi anteping kalbu artinya semua menjadi satu, semua yang memiliki Mangkunegara menjadi satu," jelasnya.
Tebu singkatan dari antebing kalbu atau mantapnya hati merupakan bentuk harapan, agar memiliki ketetapan hati dalam menjalani setiap tahap kehidupannya kelak.
Modal Menyongsong Masa Depan
Dari hal tersebut diharapkan dapat menjadikan modal dasar untuk menyongsong Mangkunegara di masa depan.
"Itu adalah modal dasar yang paling utama untuk keluarga Mangkunegar, demi menyongsong Mangkunegara sebagai tonggak budaya Jawa selamanya," jelasnya.
Menurutnya dalam tatanan kepemimpinan akan ada atasan dan bawahan, namun untuk menjadikan kokohnya Mangkunegara adalah hubungan kekerabatan yang solid.
"Jadi dengan adanya kekuatan besar ini merupakan satu kesatuan bahwa keluarga Mangkunegara merupakan keluarga percontohan oleh Pangeran Samber Nyowo dengan 40 Punggo Bakunya, mati siji mati kabeh," terangnya.
Baca juga: Sri Sultan HB X Menyematkan Pesan Mendalam Hati-hati Saja untuk Mangkunegara X, Ada Apa?
Baca juga: Gagahnya GPH Bhre Duduk di Singgasana Raja Mangkunegara X : Disaksikan Sri Sultan HB X hingga Jokowi
"Satu keluarga diibaratkan satu darah, bahwa tidak ada hubungan antara pemimpin dan bawahan, tetapi yang ada adalah hubungan kekeluargaan," jelasnya.
"Jadi kunci utamanya kokohnya Mangkunegara adalah persatuan kekeluargaan," tegasnya.
Dirinya juga mengucapkan selamat atas dilantiknya Gusti Bhre sebagai Mangkunegara yang baru.
"Sangat luar biasa setelah berbulan-bulan belum ada titik temu kemudian hari ini merupakan hari yang sangat bahagia bagi keluarga Mangkunegaran," pungkasnya. (*)