Klaten Bersinar
Selamat Datang di Klaten Bersinar

Desa Biogas Boyolali

Ini Desa Urutsewu di Boyolali : Banyak Warga Tak Lagi Beli Elpiji, Di Sini 'Gas' Melimpah dan Gratis

Di Desa Urutsewu ini, warga sudah lama merdeka dari elpiji. Mereka menggunakan kotoran sapi untuk menyalakan kompor gas

Penulis: Tri Widodo | Editor: Aji Bramastra
TribunSolo.com/Tri Widodo
Warga Desa Urutsewu Boyolali, menunjukkan bagaimana mereka sehari-hari menyalakan kompor gas lewat teknologi biogas, yakni gas yang dihasilkan dari limbah kotoran sapi. 

Laporan Wartawan TribunSolo.com, Tri Widodo

TRIBUNSOLO.COM, BOYOLALI - Setelah era minyak tanah, gas elpiji alias LPG sudah jadi kebutuhan pokok bagi masyarakat Indonesia.

Tapi tidak di di Desa Urutsewu, Kecamatan Ampel, Boyolali.

Baca juga: Kunci Jawaban Tema 6 Kelas 3 SD Halaman 144, 145, 146, 147: Biogas sebagai Energi Alternatif

Mau harga gas elpiji naik berapapun, tak bakalan bikin pusing warga di desa ini.

Tahukah anda, di desa ini, warga sudah lama merdeka dari kayu bakar, minyak tanah, maupun elpiji.

Mereka menggunakan kotoran sapi untuk menyalakan kompor !

Iya, warga yang tinggal di kawasan perbatasan Boyolali dan Kabupaten Semarang itu memanfaatkan limbah menjadi sumber energi terbarukan.

Lalu, bagaimana caranya?

Seluruh kotoran sapi dimasukkan ke dalam digester atau tangki bawah tanah pengurai kotoran.

Di dalam tangki, kotoran yang dicampur dengan air dengan perbandingan 1 : 1 itu akan terurai oleh bakteri.

Beberapa hari kemudian, kotoran yang ada di dalam tangki bawah tanah itu akan menghasilkan gas yang terikat di dalam ruang kedap udara.

Gas tersebut kemudian disalurkan pakai peralon ke kompor gas.

Dari gas itu, kompor pun bisa menyala, tak ada bedanya dibanding menggunakan elpiji.

Desa merdeka elpiji di Boyolali ini sebenarnya sudah digagas sejak 2013 lalu.

Tapi, baru viral belakangan, menyusul kelangkaan elpiji subsidi yang beberapa kali sempat menghantui warga.

Adalah Sri Haryanto, kepala desa terpilih saat itu, yang mencanangkan gerakan pembuatan sumur biogas secara masif.

Alasan Haryanto tak muluk-muluk.

Ia sebetulnya jengah dengan bau kotoran sapi yang mengganggu.

Haryanto kemudian berpikir bagaimana membuang kotoran sapi itu, tapi tak mencemari lingkungan, mengingat jumlahnya yang banyak.

Jadilah kotoran sapi itu jadi 'bahan bakar' sumur biogas.

Modalnya, adalah 2 sumur biogas bantuan dari pemerintah, atau tepatnya BPTP (Balai Pengkajian Teknologi Pertanian). 

Bantuan ini sebenarnya sudah lama diberikan ke Desa Urutsewu.

"Sayang belum digunakan maksimal. Saya tergerak untuk tidak tanggung-tanggung memanfaatkannya jadi ke seluruh desa," kata Haryanto, kepada TribunSolo.com, Minggu (13/3/2022).

Dari yang awalnya dua sumur biogas saja,  kini sudah ada 43 unit sumur di Desa Urutsewu.

Jumlah itu membuat semakin banyak kepala keluarga yang merdeka dari energi berbayar.

Satu sumur misalnya, bisa digunakan untuk menyalakan kompor di 3-7 rumah.

Hemat Uang Belanja

Menurut Haryanto, dengan biogas ini, rata-rata seorang kepala keluarga bisa menghemat Rp 720 ribu per tahun, karena tak perlu beli elpiji.

Kalau membeli kayu bakar, bisa lebih mahal lagi.

“Rata-rata masyarakat membutuhkan 72 ikat kayu pertahun, dengan nilai sekitar Rp 1,4 juta,” jelasnya.

Tak hanya uang belanja yang bisa dihemat, warga yang bergerak di bidang UMKM pun merasa senang.

Pasalnya, sumur biogas ini bisa menghemat biaya produksi hingga 15 persen.

Tutik Handayani salah satunya.

Dia tak perlu mengeluarkan ongkos produksi saat merebus kedelai sebelum dijadikan tempe.

“Saya hampir tidak pernah beli gas. Kalau pun beli itu hanya untuk cadangan,” jelasnya.

Padahal, menurut Tutik, bila tak ada biogas, dalam sebulan dia setidaknya bisa menghabiskan 8 tabung gas elpiji 3 kilogram.

Tapi dengan biogas ini, dia tak lagi repot lagi mengeluarkan biaya untuk beli gas.

"Jadi bisa hemat, bisa untuk tabungan sebagai persiapan anak sekolah," kata Tutik.

Sementara menurut Sari, pemilik usaha kecil keripik jamur, tak ada pengeluaran untuk gas elpiji bisa menghemat ongkos produksi hingga 10-15 persen. 

Versi Portabel

Karena jadi temuan yang nyata manfaatnya, warga desa pun terus berinovasi.

Salah satu inovasi itu adalah menemukan cara, jenis sampah yang bisa dimasukkan sebagai bahan utama gas, bukan hanya kotoran sapi.

Kini warga juga menjadikan limbah tahu sebagai bahan utama biogas.

Lima pabrik tahu di Desa Urut Sewu, jadi ide awal mengapa warga memanfaatkan limbah tahu.

Warga juga berinovasi membuat sumur biogas portabel.

Wujud sumurnya tidak berupa sumur besar di dalam tanah, tapi menggunakan drum plastik bekas yang didesain khusus.

Selain beda di ukuran, beda lainnya adalah jenis sampah yang dimasukkan.

Biogas portabel ini tidak menggunakan limbah kotoran ternak atau limbah pabrik tahu, melainkan pakai limbah sampah organik rumah tangga.

Dari sampah yang dimasukkan ke dalam drum itu, dihasilkanlah gas, yang kemudian disalurkan lewat pipa paralon ke kompor. 

“Untuk sekali mengisi sampah ke drum, bisa dipakai masak antara 30 menit sampai 1 jam, lumayan” kata Haryanto.

Biaya untuk membuat satu sumur biogas portabel ini sekitar Rp 1 juta.

Inovasi tak berhenti di sumur portabel.

Warga di Dukuh Gilingan Lor, Desa Urutsewu, memanfaatkan sumur biogas ini untuk menghasilkan tenaga listrik.

Caranya, gas yang dihasilkan digunakan untuk menyalakan genset.

Dari genset ini, warga bisa menyalakan pompa sumur bersama (Pamsimas), untuk memenuhi kebutuhan air bersih warga sedesa.

Jadi tak hanya menghemat pengeluaran membeli gas elpiji, warga di sini juga bisa menghemat pengeluaran tagihan listrik.

Bagaimana, lumayan bukan? (*)

Sumber: TribunSolo.com
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved