Klaten Bersinar
Selamat Datang di Klaten Bersinar

Berita Sragen Terbaru

Perjalanan Sang Pawang Hujan Asal Sragen : Di Kampung Dianggap Biasa, di Luar Dikenal Kesaktiannya

Kisah mbah Awan Kinton sang suhu pawang hujan dari Sragen sudah beroperasi sejak puluhan tahun yang lalu.

Penulis: Septiana Ayu Lestari | Editor: Asep Abdullah Rowi
TribunSolo.com/Septiana Ayu
Mbah Awan Kinton atau Sugiyo yang melakoni sebagai pawang hujan selama puluhan tahun di rumahnya Dukuh Bangan, Desa Ketro, Kecamatan Tanon, Kabupaten Sragen Senin (21/3/2022). 

Laporan Wartawan TribunSolo.com, Septiana Ayu Lestari

TRIBUNSOLO.COM, SRAGEN - Warga Kecamatan Tanon, Kabupaten Sragen pasti sudah tidak asing lagi dengan Sugiyo.

Ya, kakek 80 tahun di Dukuh Bangan, Desa Ketro tersebut dikenal sebagai pawang hujan.

Tak hanya di Tanon saja, namanya bahkan sudah dikenal hingga keluar Kabupaten Sragen.

Banyak orang yang mempunyai hajatan atau saat menggelar acara, berdatangan ke rumahnya untuk meminta bantuan agar hujan tidak turun saat acara berlangsung.

Ketua RT setempat, Masturi membenarkan jika Sugiyo terkenal sebagai pawang hujan.

"Kalau pandangan dari warga biasa saja, karena memang di sini beliau kan tokoh atau istilahnya yang dituakan, dikenal sebagai pawang hujan, banyak panggilan dari mana-mana," katanya kepada TribunSolo.com, Senin (21/3/2022).

"Di Dukuh Bangan masih menggunakan adat jaman dulu, seperti naruh takir di sumur tua, warga selalu memanggil Mbah Sugiyo, kalau warga sekitar biasa saja, hebohnya di luar sana," tambahnya.

Tambah Masturi, biasanya memang awan mendung di langit akan menyibak ketika Sugiyo melakukan ritual khusus.

"Misalnya mau turun hujan, mendungnya sangat gelap, Mbah Sugiyo punya alat sendiri, seperti keris kecil," aku dia.

"Terus Diacung-acungkan ke langit, mendungnya menyibak ke samping, tidak jadi hijan, kebanyakan cerita yang beredar seperti itu," terangnya.

Baca juga: Kata Pengamat Budaya dari UNS Solo soal Rara Pawang Hujan di MotoGP: Namanya Kebudayaan Mistis

Baca juga: Viral Aksi Rara Sang Pawang Hujan, BMKG Beri Penjelasan soal Hujan di MotoGP Mandalika

Meski sudah terkenal selama puluhan tahun, ternyata menurut Masturi, ritual Sugiyo tidak selalu berhasil.

"Tapi juga ada cerita sudah ada mendung begitu, ketika sedang melakukan ritual, pernah turun hujan juga," ucapnya.

"Ketika ditanya, kok hujan to mbah? beliaunya menjawab sudah tidak kuat, saya lepas," imbuhnya.

Selain itu, ketika diminta untuk memimpin upacara adat Jawa, seperti kenduri, hajatan, Sugiyo tidak pernah mau makan yang disuguhkan.

Meski begitu, menurut Masturi hal tersebut bisa dapat dipercaya juga bisa tidak dapat dipercaya.

"Kalau masih manjur ya saya kira bersamaan dengan takdir yang diatas, hal-hal itu seperti perantara adat orang Jawa," jelas dia.

Jadi Pawang Sejak 1965

Kehadiran pawang hujan, Rara Istiani Wulandari saat MotoGP Mandalika Indonesia 2022 jadi perbincangan di belahan dunia.

Seakan profesi 'pengendali air' itu kian tenar meski selama ini dianggap sebelah mata.

Di Kabupaten Sragen, ada 'suhu' pawang hujan yang sudah puluhan tahun menekuni pekerjaan tersebut hingga ke berbagai daerah.

Sosok yang biasa dikenal Mbah Awan Kinton itu, selama ini dimintai untuk mengendalikan hujan sehingga acara seperti pernikahan berjalan lancar.

Baca juga: Aksi Rara Istiani Wulandari Sang Pawang Hujan MotoGP Mandalika Viral, Terungkap Bayarannya

Baca juga: Pawang Hujan Viral di Mandalika Ternyata Sempat Dilarang Masuk: Bule Tak Tahu Fungsi Pawang Hujan

Lantas bagaimana kisah hidup 'suhu' pawang hujan dari Bumi Sukowati itu?

Dia bernama lengkap Sugiyo, kakek 80 tahun yang merupakan warga Dukuh Bangan, Desa Ketro, Kecamatan Tanon.

Sugiyo menuturkan meski usianya tidak lagi muda, ia masih terus didatangi orang yang meminta bantuannya sebagai penolak hujan.

"Yang membutuhkan (bantuan) banyak, ini sudah ada permintaan, tapi saya ya menyelesaikan yang kemarin dulu," katanya kepada TribunSolo.com, Senin (21/3/2022).

Kebanyakan yang meminta bantuannya ialah warga Kabupaten Sragen dan sekitarnya.

Sesekali ia juga pergi ke luar Sragen, seperti di Solo, Semarang, hingga ke Gunung Kidul Yogyakarta untuk membantu menolak hujan.

"Tapi sekarang karena sudah tua, saya maunya berangkat kalau dijemput saja, karena sudah tidak kuat," ujarnya.

Kini, ia masih diminta warga untuk menolak hujan di tengah gempuran modernisasi.

Tak hanya acara hajatan pernikahan saja, melainkan Sugiyo juga diminta di berbagai acara seperti pertandingan olahraga.

Kemampuannya menolak hujan sudah ia miliki puluhan tahun lamanya.

Ia tidak ingat tahun berapa pastinya, namun ketika peristiwa G30S/PKI yang terjadi tahun 1965 ia sudah menjalankan ritual tersebut.

Baca juga: Mengintip Gaji Pawang Hujan yang Viral di MotoGP Mandalika, Ternyata Capai 3 Digit, Ini Pengakuannya

Baca juga: Media Asing Turut Beritakan Rara Sang Pawang Hujan di Mandalika, Ternyata Malah Beri Apresiasi

"Awalnya saya memiliki gaman (pegangan benda kramat), untuk mendapatkannya lakon melek 7 Suro atau tujuh tahun," jelasnya.

"Yang menyingkirkan ya gaman itu, satu kabupaten nggak ada yang bisa, yang bisa hanya saya," tambahnya.

Seperti dalam tradisi Jawa lainnya, Sugiyo juga membutuhkan ubo rampe sebagai syaratnya.

Agar berhasil, selama melakukan prosesi penolakan hujan harus ditunggu olehnya.

"Kalau nggak ditunggu, istilahnya kalau orang itu mengikuti saya, jadi supaya berhasil harus ditunggu sampai acara selesai," jelasnya.

Dan benar, dengan hanya memohon kepada Tuhan yang Maha Esa, Sugiyo mengaku tidak pernah gagal menjalankan ritualnya.

Bahkan banyak di antaranya menyebut sebagai Mbah Awan Kinton.

"Kalau mau meminta pertolongan hanya kepada Gusti Allah," aku dia.

"Orang hidup kalau mintanya tidak kepada Gusti Allah itu tidak baik," jelasnya. (*)

Sumber: TribunSolo.com
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved