Jenderal Andika Perkasa Hapus Larangan Keturunan PKI Jadi Prajurit TNI, Ini Respons Anggota DPR
Menurut Andika Perkasa, setiap larangan yang dibuat TNI harus dipastikan memiliki dasar hukum.
Penulis: Tribun Network | Editor: Hanang Yuwono
TRIBUNSOLO.COM, JAKARTA - Aturan baru ditetapkan Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa.
Andika resmi menghapus syarat terkait anggota keturunan pelaku sejarah peristiwa 1965-1966 dari Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam rekrutmen prajurit TNI tahun anggaran 2022.
Hal itu pun menuai reaksi Anggota Komisi I DPR RI Fraksi Partai Golkar Bobby Rizaldi tak mempermasalahkan kebijakan itu.
"Bila soal keturunan PKI bisa mendaftar, saya rasa tidak masalah, kan belum tentu diterima," ucap Bobby kepada wartawan, Kamis (31/3/2022).
Menurut Bobby, semua pendaftar prajurit TNI nantinya juga akan terjaring dalam tes wawasan kebangsaan.
Baca juga: Jenderal Andika Perkasa Perbolehkan Keturunan PKI Ikut Daftar Seleksi Prajurit TNI
Baca juga: Sosok Miyono Paman Jokowi yang Meninggal: Saksi Mata Lahirnya Presiden ke-7, Gencar Perangi Hoax PKI
Menurutnya, tidak masalah jika keturunan PKI ikut mendaftar sebagai prajurit TNI.
"Selama memang tetap ada tes wawasan kebangsaan dan memastikan tidak terpapar pemikiran Leninisme, komunisme dan Marxisme yang merupakan ajaran terlarang berdasar TAP MPRS Nomor 25/1966," ujar Bobby.
Seperti diberitakan sebelumnya, Panglima TNI Jenderal TNI Andika Perkasa menghapus syarat terkait anggota keturunan pelaku sejarah peristiwa 1965-1966 dari Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam rekrutmen prajurit TNI tahun anggaran 2022.
Penghapusan syarat itu terungkap dari Rapat Koordinasi Penerimaan Prajurit TNI (Akademi, PA PK, Bintara, dan Tamtama) Tahun Anggaran 2022 yang disiarkan di kanal Youtube Jenderal TNI Andika Perkasa pada Rabu (30/3/2022).
Tampak dalam tayangan tersebut, Andika mulanya menerima paparan terkait tes mental ideologi dalam rekrutmen prajurit TNI.
Ia kemudian menyoroti salah satu poin dalam tes mental ideologi terkait keturunan pelaku peristiwa 1965-1966 dari PKI.
"Itu berarti gagal? Bentuknya apa itu? Dasar hukumnya apa?" tanya Andika.
Adapun dasar hukum dari adanya ketentuan yang melarang keturunan pelaku peristiwa 1965-1966 dari PKI tersebut adalah TAP MPRS Nomor XXV Tahun 1966 Tentang Pembubaran PKI.
Tetapi Andika tampak kurang puas setelah mendengar penjelasan lebih lanjut tentang kaitannya antara TAP MPRS XXV Tahun 1966 Tentang Pembubaran PKI dengan poin tes mental ideologi yang melarang keturunan pelaku peristiwa 1965-1966 dari PKI tersebut untuk masuk TNI.
Ketidakpuasan itu terlihat karena penjelasan mengenai isi TAP MPRS Nomor XXV Tahun 1966 Tentang Pembubaran PKI tersebut tidak sesuai dengan sebagaimana seharusnya.
Andika kemudian menegaskan bahwa dalam TAP MPRS Nomor XXV Tahun 1966 tersebut tidak melarang keturunan PKI untuk masuk TNI.
Panglima Jenderal TNI ini juga mengatakan TAP tersebut menyatakan PKI sebagai organisasi terlarang dan ajaran Komunisme, Leninisme, dan Marxisme sebagai ajaran terlarang.
"Keturunan ini melanggar TAP MPR apa? Dasar hukum apa yang dilanggar sama dia?" tanya Andika.
Dirinya pun kembali menegaskan kepada jajarannya untuk patuh pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Menurut Andika, setiap larangan yang dibuat TNI harus dipastikan memiliki dasar hukum.
"Jadi jangan kita mengada-ada. Saya orang yang patuh peraturan perundangan. Ingat ini. Kalau kita melarang, pastikan kita punya dasar hukum. Zaman saya tidak ada lagi, keturunan dari apa..tidak. Karena apa? Saya menggunakan dasar hukum," kata Andika.
Andika di akhir tayangan juga tampak memerintahkan jajarannya untuk memperbaiki ketentuan-ketentuan dalam rekrutmen TNI TA 2022 sebagaimana yang telah disampaikannya.
Ia pun meminta agar segera dibuat Peraturan Panglima TNI (Perpang) terkait ketentuan rekrutmen yang telah diperbaiki tersebut.
"Jadi yang sudah saya suruh perbaiki, perbaiki. Tidak usah ada paparan lagi karena sangat sedikit. Tapi setelah diperbaiki itu yang berlaku, oke? Ya. Jadi yang PR membuat Perpang segala macam segera dibuat," kata Andika, dikutip dari Tribunnews.com. (*)