Berita Solo Terbaru
Asal-usul Piring Terbang di Acara Pernikahan Solo : Dianggap Lebih Bergengsi dari Cara Prasmanan
Mengapa orang di Solo lebih suka menikah dengan cara piring terbang bukannya prasmanan? Jawabannya karena filosofi memuliakan tamu
Penulis: Vincentius Jyestha Candraditya | Editor: Aji Bramastra
Laporan Wartawan TribunSolo.com, Vincentius Jyestha
TRIBUNSOLO.COM, SOLO - Istilah piring terbang jadi isilah yang populer bagi warga Kota Solo.
Bukan piring terbang alien atau UFO maksudnya, tapi istilah cara menyajikan konsumsi dalam acara pernikahan di Solo.
Baca juga: Sejarah Sungkeman, Tradisi yang Lazim Dilakukan Habis Salat Id, Benarkah Berasal dari Solo?
Ya, beda dengan tradisi pernikahan di kota lain seperti Jakarta, Surabaya, atau Yogyakarta misalnya, cara prasmanan kerap dipandang lebih bergengsi, karena makanan yang disediakan lebih beragam.
Umumnya, tamu bisa mengambil makanan utama lebih dari satu kali.
Tapi di Kota Solo, tradisi menjamu tamu pernikahan lebih populer memakai sistem piring terbang.
Di acara pernikahan berkonsep piring terbang, tamu cukup duduk manis di kursi yang telah disediakan.
Pramusaji akan memberikan piring demi piring makanan ke tamu, hingga muncullah sebutan 'piring terbang'.
Lalu, bagaimana sejarah piring terbang ini berasal?
Pemerhati sejarah dari Solo, KRMT L Nuky Mahendranata Nagoro mengungkap tradisi piring terbang mulai dikenal masyarakat medio 1980-an.
Tatkala itu, biro-biro katering atau jasa hidangan tengah berkembang pesat.
Usut punya usut, piring terbang memiliki maksud supaya tamu diperlakukan atau dilayani seperti seorang raja.
"Di Mataram dulu dikenal sebagai upaya untuk menghormati tamu supaya tidak berdiri. Jadi tamu-tamu tinggal duduk, nanti hidangan diantarkan. Jadi tamu diperlakukan seperti seorang raja," kata Nuky, kepada TribunSolo.com, Jumat (20/5/2022).
Pada era Mataram, dikatakan Nuky, tradisi piring terbang justru berkembang dari daerah pesisir.
Pesisir disini bukan pelabuhan atau pantai, namun lebih kepada artian di luar nagari (pusat kota alias pedesaan).
"Memang di ibukota nagari sendiri tidak berkembang. Jadi malah berkembang di daerah desa seperti Wonosari, Klaten, Wonogiri," katanya.
Nuky mengatakan tradisi piring terbang menggunakan urutan dalam penyajian hidangannya.
Ada timing atau ritme waktu yang sudah ditentukan untuk keluarnya hidangan.
Sehingga hidangan tak langsung menumpuk dan disajikan semua kepada tamu.
Istilah yang digunakan adalah USDEK.
Dalam tiap huruf pada USDEK, memiliki penjelasan tersendiri.
Piring terbang dibuka dengan U yang merupakan kepanjangan dari Unjukan alias minuman.
Berlanjut ke S yang merupakan kepanjangan dari Sop atau Sup.
Biasanya sup yang disajikan cukup khas dengan isi meliputi rolade, wortel, buncis, hingga jamur kuping dengan kuah kaldu ayam.
Setelahnya dilanjutkan dengan D alias Dhaharan yang merupakan sajian utama.
Tamu biasanya akan mendapat hidangan nasi beserta lauk pauk yang lengkap.
Kemudian diikuti dengan E yang merupakan kepanjangan dari Es.
Dalam pesta pernikahan kurang lengkap jika sajian hidangan penutup es krim tak ada.
Terakhir adalah K alias Kondur yang dalam bahasa Indonesia berarti pulang.
"Jadi kalau sudah sampai es, biasanya kalau orang-orang yang sepuh langsung pergi, pulang. Jadi itu semacam diaturi kondur gitu," jelas Nuky.
"Makanya keluarnya es itu biasanya memang ditahan-tahan supaya tamu tidak pulang. Jadi itu dulu sebetulnya memang ada semacam pralambang sudah paripurna untuk hidangan yang akan disajikan ke tamu," tambahnya.
Perbedaan tradisi piring terbang dan prasmanan juga terlihat dengan kebiasaan hadirnya para tamu undangan.
Ketika prasmanan, biasanya tamu datang setelah acara dibuka.
Sedangkan pada tradisi piring terbang, tamu justru datang sebelum acara dimulai.
Menurut Nuky, pada zaman dahulu ketika tamu datang terlambat maka dia sama saja 'sial' karena melewatkan momen hidangan tertentu dalam piring terbang.
"Tapi zaman sekarang pun jika tamu datang terakhir pun langsung dicarikan, karena pekewuh sudah nyumbang. Kalau zaman dahulu nggak. Jadi kalau datangnya pas sop ya berarti snack dan unjukane nggak dapat," ungkapnya.
Nuky setuju apabila tradisi piring terbang dianggap lebih bergengsi dibanding dengan menjamu cara prasmanan.
Ada prestise yang dijaga di sana, yakni melayani tamu bak raja.
"Saya sendiri sebagai orang Jawa lebih sreg ya apike jangan njupuk dewe-dewe, karena kita sudah nyumbang dan sudah jadi tamu, masak ambil lauk dan nasi sendiri. Tamu kan harusnya dilayani," jelas Nuky.
Co-founder Obong Management, salah satu wedding organizer di Solo, Okky Rahadyan, membenarkan mayoritas pernikahan di Kota Bengawan pilih pakai piring terbang.
"Kalau di Solo, saya bicaranya Solo ya, tradisi ladosan atau piring terbang itu masih mendominasi. Perbandingannya 70 persen (piring terbang), 30 persen (prasmanan)," kata Okky.
Bukan Lebih Murah
Namun masih terus digunakannya tradisi ini ternyata bukan perkara banderol piring terbang yang lebih mahal daripada prasmanan.
Alasan para calon mempelai lebih kepada tradisi turun temurun yang terus berusaha dijaga.
Terkadang, calon mempelai kesulitan pula untuk meyakinkan keluarga besar untuk tak menggunakan tradisi ini.
"Katakanlah calon mempelai mempunyai saudara atau kakek nenek yang menggunakan tradisi itu dan mereka mau break the culture itu kayak susah. Jadi memang mostly ini adalah adat yang turun temurun," jelas Okky.
Jengah, setidaknya itu yang dirasakan Okky ketika tradisi piring terbang kerap dikaitkan dengan masalah finansial atau harga yang dipatok.
Nah, ada anggapan pesta piring terbang adalah siasat agar pesta pernikahan lebih murah biayanya.
Tapi Okky mengatakan, dia pernah menjumpai piring terbang dengan harga per pax Rp350 ribu.
Sehingga disebutnya piring terbang jadi lebih tinggi harganya jika dibandingkan dengan prasmanan, tergantung dari menu yang disajikan.
"Piring terbang tidak ada hubungannya dengan finansial. Lebih ke culture kalau menurut saya," katanya.
Tapi, Okky setuju bila tradisi piring terbang lebih efisien dibandingkan prasmanan.
Dengan hanya menghitung jumlah tamu yang hadir, tradisi piring terbang jarang sekali kekurangan hidangan bagi tamu.
"Jadi kenapa piring terbang lebih efisien dan tidak bisa dibilang lebih murah? Ya karena sangat bisa dikontrol. Misal tamu seribu, pesan seribu ya kamu aman. Tapi kalau standing party pax nya seribu tapi pesan seribu ya jelas nggak aman," kata Okky lagi.
"Lebih kesitu yang harus kita edukasi ke masyarakat, kenapa piring terbang lebih efisien, ya karena lebih tepat dan bisa dikontrol," pungkasnya. (*)