Berita Klaten Terbaru
Kisah Eks Buruh Batik di Kebon Klaten: Dulu Korban Gempa, Kini Pasarkan Produk hingga Luar Negeri
Ibu-ibu di Kebon, Klaten ini kuat. Mereka bangkit dari dampak gempa yang membuat mereka menganggur. Kini bisa mengirim produk hingga luar negeri.
Penulis: Ibnu DT | Editor: Ryantono Puji Santoso
"Kalau hitam itu campuran dari banyak warna, atau bisa disebut juga dengan proses fiksasi," ungkapnya.
Diterangkan Windarti, fiksasi merupakan proses pencelupan yang bertujuan untuk mengunci zat warna yang masuk ke dalam serat agar warna yang dihasilkan tidak mudah pudar atau luntur.
Fiksasi dilakukan dengan menambahkan bahan yang mengandung kompleks logam. Bahan fiksasi yang biasa digunakan antara lain kapur, tawas, dan tunjung.
Diakuinya jika kerajinan batik di desanya merupakan industri kolektif yang dibangun bersama dengan mayoritas ibu-ibu di desanya.
Dengan bermodal 180 orang, semua saling membantu dengan keahlian masing-masing.
"Nantinya dari 180 orang itu akan dibagi tugas ada yang membatik ada yang mewarnai dan ada juga yang memasarkan," terangnya.
"Jadi bagi konsumen yang membeli batik ini secara tidak langsung membantu perekonomian ibu-ibu rumah tangga yang berada di desa kami," jelasnya.
Lebih lanjut, jika kelompok batik mereka terbentuk berawal dari gempa 2006 silam.
Mereka adalah korban terdampak gempa pada tahun itu, saat itu rata-rata ibu-ibu penduduk di desanya bermata pencahariannya sebagai pembatik tulis.
"Namun karena gempa banyak juragan kami yang gulung tikar sehingga membuat kami kehilangan pekerjaan," aku dia.
"Lalu pada tahun 2009 ada LSM yang masuk dan menawarkan bantuan karena melihat banyak ibu-ibu yang menganggur, dari alasan itu menanyakan kepada kami keterampilannya apa. Setelah melihat kemampuan kami dalam membatik kemudian kami diberikan pelatihan bagaimana cara membuat batik dan mewarnainya hingga produk itu siap dijual," tambahnya.
Sekitar 1,5 tahun, seratusan emak-emak di Desa Kebon Kecamatan Bayat itu, didampingi untuk menjadi pembatik andal.
Emak-emak di Kebon pun mulai belajar teknik membatik yang benar, memberikan pewarna alami, dan belajar berbagai hal teknis lainnya.
Dulu, dengan keterampilan mereka membatik mereka hanya di bayar berkisar Rp 10 ribu hingga Rp 25 ribu untuk satu lembar kain, kini mereka bisa menghasilkan berkali-kali lipat.
"Dari saat itu kami mulai mengembangkan kerajinan batik sebagai ladang penghasilan untuk ibu-ibu di desa kami," ujarnya.