Obrolan Virtual Tribunnews
Overview Tribun Solo : Tragedi Kanjuruhan Malang, Publik Minta Hapus Gas Air Mata di Stadion
Wakil Ketua Komisi X DPR RI Dede Yusuf hingga pengamat sepak bola menyayangkan adanya gas air mata di stadion.
Penulis: Tri Widodo | Editor: Ryantono Puji Santoso
Laporan Wartawan TribunSolo.com, Tri Widodo
TRIBUNSOLO.COM, SOLO - Wakil Ketua Komisi X DPR RI Dede Yusuf menyayangkan aksi represif yang dilakukan pihak pengamanan terhadap suporter sehingga terjadi insiden mematikan yang terjadi di stadion Kanjuruhan, Malang.
Hal itu diungkapkan Dede dalam gelaran overview bersama Tribun Network, TribunSolo.com, Senin (3/10/2022).
Dikatakan Dede, dari investigasi rekaman video kerusuhan yang terjadi di stadion Kanjuruhan Malang itu terlihat adanya seorang Aremania (Suporter Arema FC) yang hendak menuangkan emosinya terhadap pemain.
Suporter itu kemudian menerobos lalu mengejar pemain.
"Karena yang satu lolos, yang lain ngikut. saat yang lain ini ngikut inilah, maaf pihak pengamanan melakukannya dengan cara represif. Akibatnya seola-olah seperti menantang," kata dia dalam diskusi tersebut.
"Akibatnya ya begitu. Dengan pengamanan yang hanya 2 ribu orang menghadapi puluhan ribu tentu akan kesulitan," kata Dede.
Dede pun kemudian menyayangkan penggunaan tembakan gas air mata dalam penanganan suporter ini.
Padahal sesuai aturan baik PSSI maupun FIFA hal itu tidak diperbolehkan.
Baca juga: Kapolres Malang Dimutasi, 9 Danton, Danyon dan Danki Brimob Dinonaktifkan Imbas Tragedi Kanjuruhan
"Kalau sampai diizinkan, siapa yang mengizinkan bom asap. Padahal di luar ada water Cannon, Barakuda, atau anjing. Tapi kenapa menggunakan asap. Karena asap ini bukan hanya mata yang perih, tapi juga bikin sesak nafas," kata dia.
"Saya sangat sedih ketika melihat korban perempuan, anak-anak. Mungkin istrinya orang, anaknya orang yang tergencet tidak bisa nafas dan tidak bisa keluar," kata dia.
Untuk itu, pihaknya bakal melakukan reformasi penyelenggaraan sepak bola Indonesia.
Reformasi persepak bolaan yang dia gaungkan ini menyasar seluruhnya mulai dari sistem pertandingan hingga stadion yang dipakai.
"Stadion -stadion ini tidak mungkin dibikin sama dengan zaman dulu. Harus sesuai dengan peraturan -peraturan terbaru di dunia," papar dia.
Sementara itu Hussein Ahmad, Peneliti dari Imparsial menyatakan turut berduka cita atas tragedi kemanusiaan di Kanjuruhan, Malang yang menewaskan kurang lebih 182 orang.
Dia mengecam sekaligus mengutuk keras kelalaian Panitia dan Operator Liga yang tidak menerapkan mitigasi risiko dengan baik dan benar, sehingga Kapasitas Stadion yang seharusnya hanya dapat diisi maksimal 38.000 Orang membludak hingga mencapai sekitar 42.000 orang.
Akibatnya penonton harus berdesak-desakan, himpit-himpitan dan mengalami gangguan pernafasan, pertanggungjawaban Panitia dan Operator Liga harus dimintai baik dalam kerangka kelalaian yang menyebabkan orang meninggal dan ganti rugi serta rehabilitasi kepada korban.
Kelalaian panitia dan operator liga tersebut diperburuk dengan tindakan pengamanan yang tidak proporsional dan bahkan cenderung berlebihan (excessive use of force) oleh Aparat Kepolisian yang bertugas dilapangan.
Dalam video yang beredar di Media Sosial terlihat bahwa terdapat penggunaan gas air mata yang dilarang dalam FIFA Stadium Safety and Security Regulations, selain penggunaan Gas Air Mata juga terdapat kekerasan terhadap para korban.
Dalam video yang beredar kekerasan tidak hanya dilakukan oleh Kepolisian tetapi juga dilakukan oleh Anggota TNI.
Hussein Ahmad, Peneliti dari Imparsial meminta Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) untuk melakukan pemeriksaan terhadap aparat yang bertugas di lapangan karena jelas ada penggunaan kekuatan berlebih yang tidak proporsional serta kekerasan yang mengakibatkan hilangnya nyawa.
Selain itu terhadap Anggota TNI harus juga diperiksa oleh Panglima TNI mengingat penerjunan Anggota untuk mengamankan Pertandingan Sepakbola jelas bukanlah tugas prajurit TNI.
Lebih dari pada itu, atasan Anggota Polisi dan TNI yang bertugas di lapangan juga harus dimintai pertanggunjawaban (command responsibility) karena sangat mungkin semua tindakan yang menyebabkan hilangnya ratusan nyawa tersebut terjadi atas pembiaran atau bahkan atas perintah atasan.
Untuk itu Imparsial yang juga tergabung dalam koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi sektor keamanan mendesak:
Pertama, Presiden RI harus meminta maaf secara terbuka kepada korban dalam tragedi kemanusiaan Kanjuruhan dan memastikan ganti rugi dan rehabilitasi kepada korban secara menyeluruh;
Kedua, Presiden RI harus membuat Tim Gabungan Pencari Fakta untuk menemukan sebab terjadinya tragedi kemanusian dengan melibatkan Lembaga Negara Independen seperti Komnas HAM, Komnas Perempuan, Komnas Perlindungan Anak, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban;
Ketiga, Kepala Kepolisian Republik Indonesia dan Panglima TNI harus memeriksa semua anggota yang bertugas dilapangan secara etik, disiplin dan Pidana;
Keempat, penyelenggara pertandingan sepakbola tidak lagi melibatkan aparat Kepolisian dan TNI serta berhenti menerapkan pendekatan Keamanan Dalam Negeri di dalam stadion, melainkan pengamanan ketertiban umum (stewards/civil guards). (*)