Berita Wonogiri Terbaru
Asal-usul Kahyangan Wonogiri, Tempat Bertapa Panembahan Senopati Sebelum Dirikan Kerajaan Mataram
Situs Kahyangan di Kecamatan Tirtomoyo menjadi salah satu petilasan yang dulunya digunakan oleh raja-raja besar. Dalam hal ini Panembahan Senopati
Penulis: Erlangga Bima Sakti | Editor: Vincentius Jyestha Candraditya
Laporan Wartawan TribunSolo.com, Erlangga Bima Sakti
TRIBUNSOLO.COM, WONOGIRI - Wonogiri memiliki sejumlah petilasan yang dulunya digunakan oleh raja-raja besar, salah satunya adalah Situs Kahyangan di Kecamatan Tirtomoyo.
Juru Kunci Kahyangan, Suwarto (53) mengatakan situs yang berada di Desa Dlepih, Kecamatan Tirtomoyo itu merupakan petilasan pertapaan Raden Danang Sutawijaya atau Panembahan Senopati.
Kahyangan digunakan oleh Panembahan Senopati untuk bertapa sebelum akhirnya berhasil mendirikan Kerajaan Mataram Islam pada tahun 1586.
"Beliau diberi warisan siti (tanah) yang berada di Wono Mentaok (Hutan Mentaok) di Jogjakarta yang akan dibabat, kemudian sarananya di Kahyangan," kata dia, kepada TribunSolo.com, Rabu (13/10/2022).
Baca juga: Bripda P, Polisi dari Wonogiri yang Kerap Peras Orang Check in Hotel di Solo, Dituntut Penjara
Baca juga: Merintih Kesakitan, Jari Pemuda di Wonogiri Terjepit Mesin Penggiling Bumbu: Dilarikan ke RS
Menurutnya, Panembahan Senopati awalnya bertapa di Selo Bethek, tempat sakral pertama dari pintu masuk situs Kahyangan.
Di sana, Panembahan Senopati belum mendapatkan ilham.
Tapi di sana, Panembahan Senopati bertemu dengan Nyai Puju, seorang pencari kayu.
Nyai Puju kemudian diutus agar meladeni apa yang menjadi kebutuhan Sutawijaya di Kahyangan.
Sutawijaya kemudian memutuskan untuk pindah bertapa di Selo Payung, lokasinya berada sedikit diatas Selo Bethek melewati Selo Penangkep.
"Di Payung, Sutawijaya disusul oleh Nyai Widyononggo, abdi kinasih dari Kanjeng Ratu Kidul. Nyai Widyononggo ini diutus Ratu Kidul menyusul Danang Sutawijaya," jelasnya.
Nyai Widyononggo dijanji untuk tidak boleh kembali sebelum Ratu Kidul menyusul ke Kahyangan.
Setelah beberapa waktu, Ratu Kidul kemudian menyusul ke Kahyangan.
Baca juga: Ingat Adu Tembak Sesama Polisi di Kartasura? Polisi Pemeras dari Wonogiri Dituntut 2 Tahun Penjara
Baca juga: Oseng Jambu Mete : Hanya Ada Setahun Sekali di Wonogiri, Kenyal dan Gurih, Rasanya Bikin Ketagihan
Ratu Kidul bertemu dengan Danang Sutawijaya di bawah Selo Payung atau di aliran sungai yang berada persis di dekatnya
"Ratu Kidul kemudian berkata, jika mau menikah dengan dirinya, apa yang diinginkan oleh Danang Sutawijaya akan dibantu," kata Suwarto.
Namun di Selo Payung, Danang Sutawijaya sudah mendapatkan ilham.
Akhirnya, keduanya melakukan siraman di Kedung Pesiraman yang letaknya berada di atas.
Saat sedang berenang di kedung itu, ada orang yang melihat keduanya, orang itu adalah Ki Puju, suami dari Nyai Puju yang saat itu sedang mencari keberadaan istrinya.
"Ratu Kidul kemudian kaget, kemudian menarik tasbih ysng yang digunakan oleh Danang Sutawijaya yang akhirnya jatuh bertebaran di kedung," ujarnya.
Seketika Danang Sutawijaya berujar barang siapa anak keturunannya yang sedang napak tilas disana, kemudian menemukan butiran tasbih atau menggunakan air disana, bisa digunakan sebagai kekuatan.
Baca juga: Nasib Pemain Persiwi Wonogiri Usai Liga 3 Dihentikan Sementara, Manajemen Pilih Liburkan Pemain
Baca juga: Bak Barang, Beginilah Aksi Keji Tersangka Buang Jasad Pemuda Wonogiri hingga Ditemukan di Sukoharjo
Danang Sutawijaya kemudian bersedia menjadi suami Ratu Kidul beserta anak keturunan Ratu Tanah Jawa.
Namun dengan syarat, Nyai Widyononggo harus menjaga Kahyangan.
Setelah meninggalkan Kahyangan, Danang Sutawijaya berhasil babat alas Tanah Mentaok dan menjadi raja dengan gelar Panembahan Senopati.
"Tahunnya kapan, tidak disebutkan dalam sejarah. Tapi yang pasti bertapa di Kahyangan sebelum babat Wono Mentaok," terang Suwarto.
Hingga kini, banyak yang melakukan napak tilas disana namun dengan keyakinan masing-masing.
Biasanya, yang diminta maupun waktu yang digunakan untuk napak tilas berbeda-beda.
Adapun biasanya yang diminta oleh orang-orang yang melakukan napak tilas disana adalah keselamatan.
Orang itu juga berasal dari luar daerah, bahkan dari luar Pulau Jawa.
"Kalau butiran tasbih itu, juga masih banyak yang mencari. Yang sudah dapat juga ada. Carinya tidak harus berendam, tapi juga ada yang berendam," kata Suwarto.
Baca juga: Kejinya Sekelompok Orang yang Aniaya Alan Suryawan di Wonogiri : Tewas, Jasad Lalu Dibuang di Sungai
Baca juga: Cuaca Ekstrem di Wonogiri, Masyarakat Diminta Waspada : Ada Potensi Banjir dan Angin Kencang
Suwarto tak memungkiri jika sejumlah tokoh pernah datang ke Kahyangan untuk Napak Tilas. Diantaranya Keluarga Cendana.
Saat pandemi, tidak ada tokoh-tokoh yang berkunjung ke Kahyangan.
Menurut Suwarto, punden yang berada di Kahyangan bagian dari Keraton Yogyakarta, meskipun wilayah Kahyangan masuk dalam Solo Raya.
Dia menerangkan, di Kahyangan pernah ada orang tenggelam. Bahkan menurutnya kejadian itu sering terjadi pada beberapa tahun kebelakang.
"Dulu sering, itu korban pengunjung. Ada yang sedang ritual seperti mandi di sungai ada juga yang sedang berwisata. Alhamdulillah sekarang sudah tidak seperti itu," pungkasnya.
Misteri Sendang Siwani Wonogiri : Petilasan Mangkunegara I
Tak terhitung tempat bernilai sejarah tinggi di Kabupaten Wonogiri yang juga dianggap keramat.
Salah satunya yakni Sendang Siwani yang terletak di Dusun Matah, Desa Singodutan Kecamatan Selogiri Wonogiri.
Sendang tersebut masih menjadi sumber mata air berabad-abad lamanya.
Dikisahkan oleh Juru Kunci Sendang Siwani, Slamet Riyadi (55), dulunya Sendang Siwani merupakan petilasan Pangeran Sambernyawa atau Raden Mas Said.
Kala itu, Raden Mas Said meneruskan perjuangan ayahnya yang bernama Mangkunegara melawan penjajahan Belanda bersama 40 pasukan yang diberi nama Punggawa Baku Kawandoso Joyo.
"Saat berjuang melawan Belanda, Raden Mas Said mengalami sejumlah kendala sehingga kalah," jelas dia kepada TribunSolo.com.
Baca juga: Kesaksian Mangkunegara X Bhre Usai Bertemu GPH Paundra : Tegaskan Hubungannya Baik-baik Saja
Baca juga: Bhre dan Paundra Akhirnya Bertemu, Foto Bersama Diunggah ke Medsos, Ada Caption : Damai itu Indah
"Oleh karena itu dia sempat lari ke Merapi, Lawu, Gunung Gambar, Sendang Sinongko hingga akhirnya di Sendang Lenggong," kata dia.
Menurutnya, Sendang Siwani dulu bernama Sendang Lenggong.
Namun kebiasaan Raden Mas Said yang memberi nama di setiap tempat yang didatangi akhirnya berubah menjadi Sendang Siwani.
Di Sendang Siwani, Raden Mas Said bertemu dengan seorang yang bernama Kiai Khasan Nur Iman.
Raden Mas Said kemudian menceritakan kendala yang dialaminya.
Kiak Khasan lantas menganjurkan Raden Mas Said untuk meditasi di atas batu yang berada di bawah sebuah pohon beringin besar.
Di samping pohon itu, terdapat sumber mata air yang sekarang disebut Sendang Siwani.
"Di dalam meditasinya, Raden Mas Said melihat seolah ada gambaran dua kerbau yang berkelahi. Satu kerbau kalah sampai tidak berdaya dan tidak punya keberanian," jelas dia.
Kerbau yang kalah itu kemudian merangkak ke sebuah sumber air dan minum airnya.
Setelah minum air tersebut, kerbau kemudian pulih dan semangat untuk bertempur kembali membara dan mempunyai mantra.
Akhirnya, kerbau yang diawal kalah bertarung setelah meminum air dari belik bangkit dan berhasil mengalahkan kerbau lainnya.
Raden Mas Said kemudian bercerita kepada Kiai Khasan soal itu.
Baca juga: Upacara Adat Pertama Bhre Sebagai Mangkunegara X, Begini Suasana Wilujengan Ruwahan Kemarin Malam
"Kemudian dijelaskan apa yang dilihat saat meditasi adalah petunjuk. Apa yang diterima itu sesuai dengan perjalanannya Raden Mas Said," terang dia.
Raden Mas Said bersama ke empat puluh pasukannya kemudian meminum air yang berasal dari Sendang Siwani tersebut kemudian melanjutkan perjalanannya.
Saat itu, dia (Mas Said) berjalan ke Nglaroh, Pule, Selogiri, atau daerah yang berada di sebelah utara Sendang Siwani.
Tujuannya kala itu adalah berbaur dengan masyarakat dan menghimpun kekuatan.
Singkat cerita, ketika berada di Kampung Puh Buto, Raden Mas Said dan pasukannya dihadang Belanda.
Meski saat itu dengan persenjataan minim dan pasukan yang sedikit, Raden Mas Said berhasil mengalahkan Belanda.
"Belanda mengakui kehebatan Mas Said dan akhirnya menyerah. Bumi jajahan yang dikuasai Belanda dikembalikam ke Mas Said. Akhirnya Mas Said diangkat sebagai Raja Mangkunegara I," tutur Slamet.
Dia menambahkan, perjalanan Raden Mas Said kala itu terjadi sekitar tahun 1741. Hingga saat ini, batu yang digunakan untuk bermeditasi oleh Raden Mas Said masih ada yang disebut selo ploso.
Air dari Sendang Siwani pun juga masih terus ada.
Di sana, gambaran perjuangan Raden Mas Said yang meniru kerbau yang lemah kemudian menang saat setelah meminum air Sendang juga diukirkan dalam bentuk relief.
Namun sayangnya, pohon beringin yang berada di dekat tempat meditasi Raden Mas Said sudah roboh di tahun 1998 lalu, kini tinggal potongan pohon yang roboh itu yang masih terjaga. (*)
