Pandemi dan Cerita Menyayat Hati di Tuksongo : 'Sampai Beli Beras Saja Sulit, Kini Sudah Bangkit'
Desa Wisata Tuksongo di Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang memiliki cerita tersendiri saat bangkit.
Penulis: Asep Abdullah Rowi | Editor: Naufal Hanif Putra Aji
Laporan Wartawan TribunSolo.com, Asep Abdullah Rowi
TRIBUNSOLO.COM - Inilah Desa Wisata Tuksongo di Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang.
Wilayah yang berjarak 1,4 km dari wisata unggulan Candi Borobudur kini telah ceria.
Bagaimana tidak, Tuksongo terkena imbas karena Candi Borobudur yang sempat sepi dan sunyi karena pandemi Covid-19.
Di mana manisnya candi yang dibangun 770 masehi itu, membuat kawasan di sekitarnya bak mendapatkan mendadak kena getahnya.

Ya, jika ingat masa-masa pandemi itu, hati Wawan Tri Hartanto sesak.
Pria 35 tahun yang jadi tulang punggung keluarga dan satu orangtuanya itu, merasakan pahitnya kehidupan.
Sehari-hari dia berjualan aksesori di taman wisata Candi Borobudur, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang.
Bagaimana tidak, situasi yang terpikirkan sama sekali terjadi tak sebentar.
Selama hampir 24 bulan lamanya, terpuruk karena wisata sepi tak ada pengunjung.
"Dua tahun loh. Benar-benar kaget. Tak ada pemasukan, padahal saya punya istri, anak dan orangtua yang harus saya nafkahi," aku dia kepada TribunSolo.com, Kamis (29/31/2022).
Dia melanjutkan, saat sebelum pandemi menyerang, dia dengan mudah mendapatkan uang Rp 200 ribu saat hari-hari normal.
Sementara saat libur panjang, Rp 1 juta juga gampang dia masukkan kantong.
"Biasanya dapat segitu, lalu sama sekali tak ada uang selama berbulan-bulan," jelas dia.
Bahkan untuk menutup keperluan sehari-hari, akhirnya Wawan memilih keliling dari daerah ke daerah lain jualan baju.
Baca juga: Kaleidoskop Solo Februari 2022 : Pengeroyokan di Sriwedari, Geng Silat Main Bacok di Jalanan
Begitu selama berbulan-bulan saat wisata benar-benar ditutup karena ganasnya Covid-19.
Kondisinya sepi dan sunyi, para pedagang baik di kios maupun di jalanan lesu.
"Sudah tak bisa berkata-kata saat itu. Ya sudah akhirnya jualan baju keliling. Ya sampai Boyolali hingga Klaten," terangnya.
Ternyata Tuhan masih berpihak, di mana pandemi berangsur-angsur sirna, PPKM pun dilonggarkan.
Perlahan normal, Wawan pun menjadi sopir VW, yakni kendaraan yang disewakan kepada wisatawan dengan menawarkan keliling Borobudur.
Salah satunya foto-foto dengan latar belakang Bukit Menoreh yang hanya ada di Tuksongo.
"Dari situ, semakin hari semakin ramai. Saya senang karena ada pendapatan lagi untuk anak istri dan orangtua. Lebih dari cukup," aku dia.
Pendamping Kampung Berseri Astra (KBA) Tuksongo Magelang, Andri Dri Afiyanto menerangkan, Tuksongo memiliki aneka unggulan yang ditawarkan kepada wisatawan.
Mulai dari suasana alam Bukit Menoreh, budaya dan kesenian, keliling memakai VW unik, 20 homestay hingga eneka UMKM makanan khas gula aren hingga mie lethek.
Bahkan event-event kesenian sering digelar untuk membangkitkan gairah wisata, seperti festival seni hingga Balkonjazz.
"Banyak dari Jakarta, tamu kelompok atau keluarga. Ya datang, tidur di homestay, disajikan tari topeng ireng saat tiba dan sajian-sajian lain," aku dia.
Di mana topeng ireng menurut di asli dari daerah tersebut yang lahir secara turun temurun sejak tahun 1935 yang lalu.
Lebih lanjut dia mengatakan, dari kesenian itu menurut dia, Tuksongo menjadi destinasi wisata orang perkotaan karena kagum dengan konsistensinya.
"Makanya disebut 'mbahnya topeng iteng. Karena memang sudah dari generasi ke generasi gak putus sampai saat ini," jelas dia.
Di sana, ribuan orang bergantung dengan wisata yang tumbuh, karena tak hanya warga dari Tuksongo, tetapi warga sekitarnya.

Dia menjelaskan, KBA berusaha menggelar bimbingan hingga membuat program-program bagus sehingga wisatanya kian maju.
Terlebih dahulunya warga hanya maunya tanam tembakau, sementara harganya semakin tahun semakin tak bisa diandalkan.
"Wisata sudah jadi penghidupan. Padahal dulu orang hanya ke Borobudur. Tetapi saat ini wisatwan justru menikmati syahdunya ke kampung-kampung," jelas dia.
Namun kebahagiaan di Tuksongo yang sudah berlangsung sejak 2017, sempat 'suram' gara-gara pandemi Covid-19.
Tepatnya 2020 hingga 2022 awal, terkena imbas dari penutupan tempat wisata Candi Borobudur.
Proses kebangkitan warga Tuksongo memiliki cerita tersendiri.
Bahwa sebelumnya kondisi desa yang ramai dengan wisatawan, mendadak sepi dan sunyi.
Selama dua tahun lamanya, warga merasakan kepedihan, karena sebagian besar anak-anak muda yang bekerja di sektor wisata harus kembali menjadi petani dan kerja serabutan.
"Lebaran tahun ini (2022) mulai ramai hingga saat ini. Puncaknya bulan-bulan pengunjung luar biasa," aku dia.
Padahal rata-rata pengunjung pada saat normal kata dia, bisa mencapai 500-700 orang, sementara libur panjang bisa ribuan orang.

Dengan itu, kemudian membangkitkan warga, di antaranya dengan pembukaan homestay.
"Sudah ada 20 rumah yang kemudian jadi homestay. Mereka dapat penghasilan dari sana," aku dia.
Kades Tuksongo, Muhammad Abdul Karim membenarkan, pandemi membuyarkan semuanya, di antaranya tataran perekonomian yang berasal dari wisata.
Tak hanya mereka yang bekerja di lingkungan Tuksongo, tetapi yang mencari nafkah di Candi Borobudur.
Bahkan sejak mengambil peran, hampir mayoritas mencari nafkah dari roda wisata yang masuk ke kampung-kampung.
Perputaran uang di kawasan Tuksongo pun tak main-main dari wisata, sebulan bisa mencapai ratusan juta rupiah, apalagi libur panjang.
"Mati pet (total) ekonomi. Sampai beli beras saja sulit. Kita (warga) benar-benar merasakan terpuruk," aku dia.
Selama beberapa tahun ini, warga kata dia, didorong untuk mengambil peran sehinggga tak hanya jadi penonton saja.
Di antaranya bekerja dengan banyak pihak mulai pemerintah hingga KBA untuk membangkitkan kembali perekonomian yang sempat terpuruk karena menyayat hati.
Bahkan kebangkitan ini hasil dari kerja bersama-sama untuk mencipatakan suasana damai.
Yakni mulai dari penataan event, menciptakan spot menarik dan tawaran-tawaran paket lain sehingga wisatawan hanya menemukan di Tuksongo.
"Termasuk kami kan buat showroom isinya yakni hasil dari UMKM, di antaranya olahan gula aren dan mie lethek. Itu sudah ada sejak nenek moyang kita lestarikan," jelas dia.
Alhasil lanjut dia, wisatawan tertarik karena saat dulu hampir seluruh warga memiliki usaha itu, kini tinggal hanya beberapa orang.
"Ada narasi dan penjelasan, hingga praktek langsung ke wisatwan. Cara membuat gula aren dan mie lethek. Mereka seneng, akhirnya apa? ya beli untuk oleh-oleh," paparnya. (*)