Klaten Bersinar

Cerita Dalang Wayang Kardus Ki Kuntet Hariyanto Asal Klaten, Wayangnya Pernah Dibakar Sang Istri

TRIBUNSOLO.COM/Zharfan Muhana
Dalang Ki Kuntet Hariyanto, dalang wayang kardus saat pentas di Ngalas, Klaten Selatan, Klaten. 

Laporan Wartawan TribunSolo.com, Zharfan Muhana

TRIBUNSOLO.COM, KLATEN - Profesi sebagai dalang wayang kardus kini dilakoni Ki Kuntet Hariyanto (52), pria asal Desa Pasung, Kecamatan Wedi, Kabupaten Klaten.

Ia mulai aktif sebagai dalang sejak 2018, sebelumnya terdapat cerita kalau wayang kardus versi pakem wayang kulit cerita maha barata  miliknya pernah di bakar oleh sang istri, Winarti.

"Dulu pernah buat wayang kardus, saat itu baru punya 100 wayang. Saat itu ekonomi sedang melemah tahun 2016, di bakar sama istri dulu itu," ujar Kuntet, nama panggilannya.

Baca juga: Potret Peringatan HUT ke-78 RI ala Warga Ngalas Klaten : Geber Pentas Wayang Kardus

Ia lalu marah besar pada saat itu, pintu rumahnya pun sampai rusak karena dia tendang. Kuntet lalu sempat berhenti bermain wayang, ia lalu bekerja sebagai buruh tani.

Kuntet mengakui sempat di dorong oleh pak lurah desa nya untuk membuat wayang lagi.

"Saya buat grup dangdut campur sari, saya isi buat satu wayang bentuk orang didandani membawa mic," ungkapnya.

Di saat setiap ia pentas, penonton selalu ger-geran. hal tersebutlah membuatnya tergugah kembali membuat wayang kardus, namun dengan memodifikasi wayang dengan versi ketoprak.

"Saya buat (versi) ketoprak Mataram, cerita Mahesa Jenar. Baru buat 20 wayang, sama (warga) kampung minta di pentaskan. Waktu itu di dukung Lurah dan perangkat," paparnya.

Baca juga: Wacana Bioskop di Mal Klaten Diseriusi, Pemkab Sebut Sudah Negosiasi: Tidak Mudah Buat Studio

Lakon yang pertama ia bawa saat tahun 2018 ialah Aryo Penangsang Gugur, saat itu ia ungkapkan kalau penontonnya banyak.

"Ger-geran, bisa diterima masyarakat kampung," kata Kuntet.

Dia lalu mendapat panggilan mendalang kedua dari kelompok tani.

"Kelompok tani gabungan dari beberapa kecamatan, dari Wedi, Klaten Selatan, dan Kebonarum. Mereka saat itu urunan (nanggap), dan saya sampai sekarang masih (mendalang)," ucapnya.

Selain mendalang, Kuntet juga masih aktif bekerja menjadi petani.

Di sela-sela kesibukannya tersebut, ia membuat wayang kardus.

"Buat wayang selonggarnya, kalau ada waktu malam ya buat malam hari. 1 wayang itu memakan waktu 2 hari untuk mengecat, setelah sebelah kering baru sebelah lagi," paparnya.

Jenis wayang ia buat berdasarkan kreativitas sendiri, latar belakang pernah bermain ketoprak membuatnya mendandani wayang ala ketoprak.

Baca juga: Wamendes PDTT Gelar Tasyakuran di Klaten, Wabub Yoga Hardaya Minta Warganya Tiru Semangat Juang

Padukan Ketoprak dalam pentas wayang kardus.

Latar belakangnya yang pernah menjadi pemain ketoprak, membuatnya banyak mengerti cerita atau lakon yang dibawa.

"(Wayang mahabarata) sebetulnya bisa, beberapa lakon mampu melakukan. Tapi kita cari yang belum ada, saya kreativitas sendiri, saya aransemen, saya gabungkan ketoprak dengan wayang kulit," 

"Jadi gamelannya memakai mirip wayang kulit, perpaduan," ucap pria yang memiliki 1 anak dan 1 cucu ini.

Tanggapan wayang sendiri tidak mesti ada setiap saat,  hanya di musim-musim tertentu tanggapan wayang bisa banyak.

Di bulan Agustus ini, setidaknya Kuntet sudah mentas sebanyak 5 kali untuk acara HUT RI.

Sementara untuk bulan berikutnya ia baru masuk jadwal tanggapan 1.

Banyak lakon atau cerita yang bisa ia bawakan saat pentas, orang yang menanggapnya pun biasanya menyerahkan kepadanya untuk cerita yang dibawakan.

"Lakon cerita ketoprak (biasanya), temanya banyak. Dulu ada yang pernah minta dibawakan Suminten Edan, sudah saya persiapkan yang punya acara tidak berani karena sakral," ungkapnya.


"Mintanya terserah dalang, karena pada kurang hafal cerita ketoprak. Paling mencocokkan (cerita) dengan yang pernah di dengar di radio," imbuhnya.

Cerita seperti Sri Tanjung, Terjadinya Kota Ponorogo, Dhemang Menoreh Balelo, Geger Gunung Tidar, dan masih banyak lagi cerita atau lakon yang pernah dipentaskan.

Kuntet pun membuka pintu bagi orang-orang yang ingin belajar wayang, yang nantinya bisa menjadi generasi penerus.

"Jadi budaya kita khususnya Jawa tidak punah," kata Kuntet.

Ki Kuntet Hariyanto sendiri untuk sekarang baru pentas di wilayah Kabupaten Klaten saja, ia belum pernah mengambil job di luar kota.

"Belum pernah, dulu ada dari Tangerang saya tolak. Karena saya pikir nanti terlalu mahal (biaya nanggapnya), kalau sekitar sini masih terjangkau," tutupnya.


(*)