Klaten Bersinar
Filosofi 21 Kendi dan Gunungan Gebyar Padusan Pemkab Klaten di Objek Mata Air Cokro
Laporan Wartawan TribunSolo.com, Ibnu Dwi Tamtomo
TRIBUNSOLO.COM, KLATEN - Pemkab Klaten sukses menggelar Gebyar Padusan di di Objek Mata Air Cokro (OMAC), Desa Ponggok, Kecamatan Tulung, Klaten, pada Minggu (10/3/2024).
Itu terlihat dari antusiasme masyarakat yang hadir dan mengikuti satu demi satu rangkaian kegiatan tersebut.
Mulai dari kirab 21 kendi dan gunungan, siraman, serta sebar apem dan udik-udik.
Tak sekadar rangkaian biasa, ternyata setiap rangkaian kegiatan itu punya makna dan filosofi yang mendalam.
Seperti yang diungkapkan Kepala Dinas Kebudayaan Pemuda Olahraga dan Pariwisata (Disbudporapar) Klaten, Sri Nugroho, padusan tahun ini mengusung tema berbeda dengan tahun sebelumnya yakni "Merti Rogo Hanggayuh Resik Ing Jiwo".
"Merti Rogo Hanggayuh Resik Ing Jiwo itu dapat diartikan bagaimana kita mensucikan badan kita sebelum kita menjalankan ibadah puasa," jelasnya.
Sri Nugroho mengungkapkan, jika 21 mata air juga dimaknai bahwa Klaten dikenal sebagai kota seribu umbul.
Lanjut, Sri Nugroho menjelaskan lokasi sumber mata air yang tersebar di beberapa kecamatan mulai dari Kecamatan Tulung, Kebonarum, Ngawen, Jatinom, Polanharjo dan Karanganom. Dimana sumber mata air yang digunakan untuk prosesi siraman, diantaranya:
1. Sumber Mata Air Pluneng;
2. Sumber Mata Air Brintik;
3. Sumber Mata Air Brondong;
4. Sumber Mata Air Geneng;
5. Sumber Mata Air Pengilon;
6. Sumber Mata Air Susuhan;
7. Sumber Mata Air Gedaren;
8. Sumber Mata Air Jolotundo;
9. Sumber Mata Air Nilo;
10. Sumber Mata Air Pelem;
11. Sumber Mata Air Kapilaler;
12. Sumber Mata Air Ponggok;
13. Sumber Mata Air Cokro;
14. Sumber Mata Air Sigedang;
15. Sumber Mata Air Lumban Tirto;
16. Sumber Mata Air Besuki;
17. Sumber Mata Air Manten;
18. Sumber Mata Air Sinongko;
19. Sumber Mata Air Sri Sidomulyo;
20. Sumber Mata Air Gotan;
21. Sumber Mata Air Balong;
Dalam penjelasannya, penggunaan 21 mata air itu juga memiliki makna yang tersirat.
Ia menjelaskan bahwa angka 21 juga menggambarkan datangnya wahyu illahi, dalam istilah jawa lebih dikenal dengan malam selikuran.
Tradisi malam selikuran diharapkan menjadi sarana pengingat untuk memperbanyak sedekah, introspeksi diri, dan juga menggiatkan ibadah-ibadah lain dalam sepuluh hari di bulan Ramadan.
Selain itu, sebar udik-udik dan apem atau apem dan uang yang menjadi satu kesatuan.
Apem yang berasal dari kata afwun atau afwan dapat dimaknai dengan saling maaf memaafkan sebelum bulan Ramadan, sedangkan uang dimaknai sebagai gemar bersedekah terutama di bulan Ramadan.
Melalui kegiatan padusan, pihaknya memprediksi mampu menyedot sekira 4 ribu pengunjung.
Atas dasar itu pihaknya berharap dapat jadi pemantik pertumbuhan perekonomian di Kabupaten Klaten.
Selain itu ia juga berharap, kegiatan tersebut turut memberikan dampak positif kepada masyarakat.
"Agar orang yang beriman dapat membersihkan diri jiwa raga sebelum menjalankan ibadah puasa di bulan suci Ramadan, sekaligus untuk meningkatkan ketakwaan kepada sang khaliq," ujar dia.
"Selain itu, padusan tersebut juga untuk melestarikan tradisi adat jawa, karena padusan juga telah dilakukan sejak Raja Kasunanan Surakarta Sri Paku Buwono Pertama," harapnya.
Hal senada juga menjadi harapan Bupati Sri Mulyani.
Selain menjaga tradisi para leluhur.
Gebyar Padusan juga menjadi sarana pembersihan diri ini sekaligus untuk menguatkan fisik dan mental saat ibadah selama bulan suci Ramadan.
"Harapannya, dengan padusan ini kita akan memasuki bulan suci Ramadan dengan sehat walafiat, kuat, ikhlas dan khusyuk dalam menjalankan ibadah puasa," ucap dia.
"Semoga amal ibadah kita diterima Allah, dan masyarakat Klaten semakin maju,mandiri dan sejahtera, serta sehat lahir dan batin," harapnya.
(*/ADV)