Fenomena Menghilangnya Tren Bersepeda
Tren Bersepeda di Solo Mulai Ditinggalkan, Perlahan Tergeser Lari yang Jadi Gaya Hidup Baru
Tren lari mulai dilirik dan menggeser tren bersepeda karena dianggap mengeluarkan biaya yang relatif lebih rendah.
Penulis: Ahmad Syarifudin | Editor: Vincentius Jyestha Candraditya
Laporan Wartawan TribunSolo.com, Ahmad Syarifudin
TRIBUNSOLO.COM, SOLO - Sosiolog UNS Akhmad Ramdhon menyebut tren bersepeda di Solo kini banyak ditinggalkan karena memiliki biaya yang lebih tinggi.
Berbeda dengan tren lari yang mulai dilirik karena dianggap mengeluarkan biaya yang relatif lebih rendah.
“Ada biaya di situ setidaknya sepeda itu sendiri. Kita tahu sepeda dari Eropa dengan harganya yang sangat mahal. Berbeda dengan lari setidaknya jauh lebih efisien dari sisi equipment. Semua orang masih memungkinkan melakukan aktivitas lari,” jelasnya.
Sebelumnya banyak orang yang beralih dari badminton atau futsal ke bersepeda karena kebijakan pembatasan saat pandemi covid-19.

Di samping bisa dilakukan sendiri olahraga ini efektif menjaga kebugaran untuk meningkatkan imunitas.
“Ketika kita menghadapi covid ada situasi yang mewajibkan kita meminimalisasi interaksi dengan banyak orang. Sepertinya pada saat itu upaya untuk menjaga imunitas ada pada olahraga. Sepeda saat itu booming. Sepeda menjadi treatment untuk memastikan setidaknya social distancing dan melakukan mobilitas. Dalam durasi covid 3 tahun mengalami pasang sekaligus surut,” tuturnya.
Tentu saja industri menangkap ini sebagai peluang untuk meraup keuntungan.
Sepeda dan segala peralatannya dijual dengan harga yang fantastis hingga ratusan juta.
Baca juga: Kisah Penggemar Sepeda di Solo, saat Pandemi Harga Bisa Naik 4 Kali Lipat, Masuk Toko Harus Antre
“Antara sepeda atau olahraga lari adalah gaya hidup. Opsi untuk berinteraksi dengan banyak orang lewat medium olahraga. Kita melihat lari menjadi gaya hidup baru. Bukan hanya bersepeda. Orang meletakkan standar sepeda itu sendiri. Sekarang mendapat momen luar biasa karena diaktivasi oleh swasta. Maka kita lihat demand atas situasi itu di-supply oleh industri. Industri sepatu olahraga, baju, celana, kaca mata,” ungkapnya.
Ia tak memungkiri mendokumentasikan aktivitas olahraga mutlak sama pentingnya dengan olahraga itu sendiri.
Baca juga: Sepeda Federal Jadi Incaran di Solo Sewaktu Pandemi Covid-19, Sehari Bisa Cuan Hingga Rp70 Juta
Media sosial sangat lekat dengan kehidupan manusia termasuk aktivitas berolahraga.
Namun menurutnya ini konten baik yang mempromosikan gaya hidup sehat.
“Media sosial menjadi aktivasi menjadi sebuah media baru untuk ditampilkan ke publik. Sepertinya kurang valid ketika tidak didokumentasikan. Menurut saya menjadi konten baik. Kita juga mudah menemukan konten negatif. Pada dasarnya menyampaikan pesan bagus untuk gaya hidup sehat,” jelasnya.
(*)
(*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.