Laporan Wartawan TribunSolo.com, Adi Surya Samodra
TRIBUNSOLO.COM, SOLO - Proyek pembangunan videotron di jalur lambat kawasan Ngarsopuro, Jalan Slamet Riyadi, Kota Solo berpotensi merusak estetika dan tata kota.
Selain itu, pembangunan videotron bisa menghilangkan potensi pendapatan asli daerah (PAD) Kota Solo.
Besaran pendapatan yang dihasilkan dari pembangunan videotron itu ialah Rp 93,6 juta selama lima tahun.
Dengan kata lain, Pemerintah Kota (Pemkot) Solo hanya mendapat Rp 18,72 juta per tahun atas videotron berukuran 4 meter x 8 meter itu.
Anggota Komisi I DPRD Kota Solo, Ginda Ferachtriawan menilai besaran pendapatan itu jauh lebih sedikit ketimbang videotron yang sudah beroperasi hingga kini.
Satu diantaranya, videotron yang terpasang di depan Omah Lawa, Kecamatan Laweyan, Kota Solo.
“Videotron yang ada di Omah lawa saja nilainya Rp 1,5 Miliar untuk tiga tahun," kata Ginda, Sabtu (3/10/2020).
"Ya sekitar Rp 500 juta lah setahun. Padahal itu lebih kecil,” tambahnya.
• BREAKING NEWS: Tawuran Terjadi di Pedan Klaten, Pedagang Takut dan Tutup Lapak Mereka
• Polisi Belum Kantongi Identitas Pria yang Meninggal di Dekat Pasar Kembang Solo : KTP Tidak Ada
• Sempat Tidur dan Pegang Dada, Seorang Pria Ditemukan Tewas di Lincak Kawasan Pasar Kembang Solo
• Simulasi Debat Pilkada Solo 2020, Gibran - Teguh Sparing dengan Sejumlah Tokoh
Ginda sudah memperoleh dokumen perjanjian kerja sama yang diperolehnya dari Dinas Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP).
Dalam dokumen tersebut, rekanan mengajukan enam titik reklame berupa dua titik videotron dan empat neon box.
Dua titik itu berada di kawasan Ngarsopuro dan Galabo yang masing-masing senilai Rp 93,6 juta dan Rp 546 juta.
Sementara empat titik neon box semuanya menempati Jalan Slamet Riyadi dengan nilai kisaran Rp 346 - 511,8 juta.
Ginda menuturkan dalam lima tahun periode perjanjian, retribusi yang diperoleh Pemkot Solo dari enam titik itu hanya Rp 2 Miliar.
“Sebenarnya nilainya Rp 2,4 Miliar. Kemudian dimohonkan keringanan retribusi dengan alasan pandemi Covid-19,” tuturnya.
Permohonan keringanan itu, lanjut Ginda, dikabulkan Pemkot dengan memberi potongan Retribusi 17 persen atau setara Rp 413 Juta.
Selain itu, Ginda juga mempertanyakan prosedur penerbitan izin yang diduga tanpa melalui lelang.
Apalagi, lokasi-lokasi pemasangannya begitu strategis dan memiliki potensi nilai ekonomi tinggi.
Bila mengacu Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Reklame, khususnya Pasal 13 Ayat 2.
Pengelola titik reklame pada sarana dan prasarana kota yang mempunyai nilai strategis dilakukan melalui mekanisme lelang dengan penetapan harga dasar lelang titik lokasi reklame.
"Kami berencana meminta keterangan dinas-dinas yang berurusan dengan penerbitan izin reklame untuk menggali informasi lebih jauh," ujar Ginda.
"Saya sudah bertemu dengan DPMPTSP. Dan sudah kami minta mengkahi ulang. Kalau memang ini salah, ya, segera segera dibetulkan,” tandasnya. (*)