Laporan Wartawan TribunSolo.com, Adi Surya Samodra
TRIBUNSOLO.COM, SOLO - Keterbatasan penghilatan tak menghalanginya untuk terus berjuang mencari pundi-pundi rupiah.
Ia berjualan telur asin. Lapaknya tak luas. Hanya mengandalkan keranjang bertulisan 'JUAL TELUR ASIN' berisi kurang lebih 160 butir.
Raganya hanya duduk di atas dingklik plastik di sisi barat SMA Negeri Solo, tepatnya di tepian Jalan Letjen Sutoyo, Kecamatan Banjarsari, Kota Solo.
• Cara Gadai HP di Pegadaian, Simak Prosedur dan Persayaratannya
• Presiden Jokowi Pilih Pakai Strategi Titik Keseimbangan, Sebut Lockdown Bisa Mengorbankan Masyarakat
Ia begitu sabar menanti pembeli. Sesekali keringat yang mengucur diusap pakai kain hijab hitamnya.
Dialah Siti Khayatun (40), Tuna Netra asal Kecamatan Ngemplak, Kabupaten Boyolali.
"Saya jualan di sini belum lama. Kurang lebih awal September kemarin dan sampai sekarang," ucap Siti kepada TribunSolo.com, Minggu (4/10/2020).
Siti biasanya berangkat dari rumahnya sekira pukul 05.30 WIB dengan diantar tetangganya pakai sepeda motor.
Sementara, suaminya Slamet (53) kebanyakan tinggal di rumah mengasuh dua putranya yang masing-masing berusia 10 dan 6 tahun.
Itu karena Slamet habis menjalani tiga kali operasi. Operasi ambeyen dan dua kali operasi hernia.
"Berangkatnya diantar sama tetangga saya yang kebetulan ojek online. Pas pulang juga sama. Nanti saya telepon," ucap Siti.
Terkadang, Siti harus pulang malam sekira pukul 19.00 WIB lantaran menunggu dagangannya habis.
"Kalau pagi saya di sini (barat SMA Negeri 5). Nanti sore hari saya pindah ke perempatan Universitas Tunas Pembangunan," kata Siti.
"Kalau sore di sini ramai dipakai jualan ayam bakar sampai nasi goreng," tambahnya.
Siti membanderol telur asin yang dijualnya seharga Rp 4 ribu per butirnya. Telur dagangannya ia ambil dari tetangganya.
"Pas ramai bisa dapat Rp 700 ribu. Tapi karena telur ini milik orang kembalinya ke dia Rp 500 ribu dan saya cuma dapat Rp 200 ribu," ucap Siti.
"Itupun nanti masih terpotong untuk ongkos perjalanan pulang ke rumah," imbuhnya.
Sebelum berjualan telur asin, Siti dan Slamet sempat berjualan kacang rebus.
Mereka biasa berjualan di kawasan Matahari Singosaren, SMA Negeri 5 Solo, dan SMP Negeri 7 Solo.
Terkadang keduanya berjalan kaki dengan bantuan tongkat berpindah dari satu tempat ke tempat lain.
"Jualan kacang rebus itu mulai tahun 2017," tuturnya.
Namun, Siti dan Slamet tak meneruskannya akibat pandemi Covid-19 yang melanda Kota Solo.
Karenanya, mereka bahkan sempat berhenti berjualan selama 5 bulan sebelum akhirnya berjualan telur asin.
• Jadi Sahabat untuk Anak Solusi Hilangkan Stres di Tengah Pandemi Covid-19
"Yang beli tidak ada. Tidak dapat apa-apa. Sekolah-sekolah juga pada libur. Akhirnya ya sudah di rumah," tutur Siti.
Padahal sebelum pandemi, Siti dan Slamet bisa mengantongi Rp 50 ribu sampai Rp 100 ribu per harinya.
"Kemarin sama sekali tidak dapat. Tapi mulai September sampai sekarang, coba bangkit lagi jualan telur asin," tandasnya. (*)