Laporan Wartawan TribunSolo.com, Andreas Chris Febrianto
TRIBUNSOLO.COM, SOLO - Komisi IV DPRD Kota Solo meminta agar Pemkot juga ikut mendukung adanya aturan soal Perda Perlindungan Konsumen.
Ini menanggapi Warung Ayam Widuran di Solo yang menggunakan bahan nonhalal.
Warung Ayam Widuran yang beralamat di Jalan Ir Sutami, Keprabon.
Mereka mengumumkan bahwa produk mereka mengandung bahan non halal.
Ternyata tak sedikit konsumen yang merasa tertipu atas apa yang terjadi tersebut lantaran warung yang telah berdiri sejak tahun 1973 itu baru mengumumkan adanya bahan baku non halal.
Salah satu pihak yang merasa dirugikan tak lain adalah Komisi IV DPRD Solo yang sempat menyantap kuliner yang dibeli dari warung tersebut beberapa waktu lalu.
Hal itu diungkap oleh salah satu anggota komisi IV DPRD Solo dari fraksi PKS Sugeng Riyanto.
Ia menceritakan bahwa beberapa hari sebelum warung Ayam Widuran mengumumkan menggunakan bahan baku non halal di salah satu produknya.
Ia dan rekan-rekan sempat mengunjungi warung tersebut.
"Yang pertama saya perlu sampaikan bahwa saya termasuk korban dan juga Komisi IV. Jadi sekitar dua pekan lalu seusai sidak ada teman kami usul makan siang di warung itu, dan kita tahunya itu halal. Sehingga kesana dibungkus dan dibawa, terus selang beberapa hari muncul informasi itu. Jadi saya secara pribadi maupun komisi IV DPRD Solo merasa dirugikan karena pihak penjual tidak memberikan informasi yang memadahi tentang produknya non halal," ungkap Sugeng saat dihubungi, Minggu (25/5/2025).
Baca juga: Viral Ayam Goreng Widuran Solo Pakai Minyak Babi, Karyawan Sebut Pelanggan Kebanyakan Non Muslim
Alih-alih saling menyalahkan, Sugeng lebih memilih untuk menyarankan kepada rekan di DPRD untuk menjadikan polemik warung ayam Widuran ini jadi momentum kembali menggodok Peraturan Daerah (Perda) terkait aturan makanan non halal.
"Ini menjadi momentum yang baik untuk DPRD Solo dalam hal ini memberikan kepedulian dengan memproduksi atau membuat Perda tentang jaminan produk halal maupun perlindungan konsumen. Ya di antara dua itu," lanjut Sugeng.
"Maksudnya adalah ada sangat banyak konsumen di Solo yang mereka muslim dan karena case seperti ini akhirnya tertipu. Tidak ada informasi yang memadai, seperti yang waktu kami ke sana, yang memesan dan membayar makanan itu pakai Jilbab. Artinya kalau pihak penjual memiliki itikad baik harusnya memberikan informasi," urai Sugeng.
Disinggung terkait langkah pemerintah kota (Pemkot) Solo dalam hal menangani polemik seperti ini.
Sugeng berharap agar pemerintah daerah segera mengambil tindakan salah satunya dengan ikut mendorong terwujudnya usulan Perda perlindungan konsumen.
"Kalau dari sisi pemerintah daerah saya kira pemerintah punya aparatur dalam hal ini Satpol PP maupun kepolisian dengan berbekalkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen cukup untuk digunakan sebagai rujukan agar pihak aparat bisa memberikan tindakan terhadap penjual yang serupa," kata dia.
Lebih lanjut, Sugeng juga menyarankan bahwa pencantuman label halal dan non halal di usaha kuliner bisa menjadi anjuran.
Ini sebelum pemilik usaha mengajukan izin pembukaan usaha ke dinas terkait.
"Itu kan juga bagian penegakan hukum di negara kita. Karena saya kira ini jadi cukup bagus apabila terkait pelabelan halal non halal juga dicantumkan dalam persyaratan perizinan usaha kuliner. Jadi langkah itu kan lebih preventif," pungkasnya. (*)