Klaten Bersinar
Selamat Datang di Klaten Bersinar

Pemilu 2019

Sujiwo Tejo Minta KPU Membuat Aturan Bagi Para Peserta Pemilu Agar Tak Menyalahgunakan Pancasila

Presiden Negeri Jancukers ini meminta KPU membuat aturan bahwa setiap kontestan tidak boleh membawa-bawa nama Pancasila.

Penulis: Fachri Sakti Nugroho | Editor: Fachri Sakti Nugroho
Tribun Jateng/Wahyu Sulistiyawan
Budayawan dan seniman, Sudjiwo Tejo menyampaikan deklarasi budaya di kampus Universitas PGRI Semarang, Kota Semarang, Jawa Tengah, Selasa (28/10/2014). Dalam deklarasinya, Sujiwo Tejo menyampaikan perkembangan budaya di era modern. (Tribun Jateng/Wahyu Sulistiyawan) 

Fenomena ini kerap disebut dengan istilah populisme.

Populisme ini semakin marak terjadi di belahan dunia, terutama di negara-negara demokrasi.

Tak terkecuali Indonesia.

Melansir dari NU Online, Jumat (11/1/2018) menurut Guru Besar Antropologi Universitas Boston, Amerika Serikat Robert W Hefner, munculnya populisme ini merupakan sebuah ancaman di Indonesia, terutama bagi Islam Nusantara dan cita-cita politik dan kultur Indonesia yang inklusif di tengah multiras dan agama.

Meskipun demikian, ia tetap yakin bahwa Indonesia mampu bertahan dari ancaman tersebut.

Hal itu bukan berarti lepas begitu saja darinya.

"Indonesia akan tahan. (Tapi) Tidak berarti bebas dari ancaman populis. Itu pasti akan berlangsung sebagai salah satu bagian dari demokratisasi," kata Hefner saat mengisi kuliah umum di Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Jakarta, Jalan Taman Amir Hamzah, Pegangsaan, Jakarta, Jumat (11/1) sebagaimana dikutip TribunSolo.com dari NU Online.

Hefner masih percaya diri bahwa Islam Nusantara dan Islam Berkemajuan akan tetap berlangsung.

Namun, ia juga mengingatkan bahwa para peserta dan masyarakat pada umumnya juga harus merasa percaya diri juga.

"Ujian ini akan dirasa terus-menerus karena fenomena umum terutama negara yang mau demokratis. Kita akan terus melihat fenomena yang sama," terangnya.

Populisme, jelas Hefner, tidak berarti populer.

Ia juga tidak berasal dari harapan rakyat sendiri.

Justru sebaliknya, populisme menghancurkan kultur, nilai, dan institusi masyarakat yang memiliki jiwa hidup bersama.

"Populisme adalah sebuah strategi mobilisasi yang diterapkan oleh tokoh politik tertentu," ujar pria yang telah meneliti Indonesia sejak lebih dari 30 tahun lalu itu.

Soal Rekaman 7 Kontainer Surat Suara Tercoblos, Sujiwo Tejo: Saya Susah Percaya

Penulis buku Civil Islam itu menyebutkan dua ciri populisme, yakni strategi mobilisasi dengan menciptakan musuh dan penganggapan diri sebagai tokoh.

Ia menjelaskan bahwa penciptaan musuh itu dilakukan guna membuat ancaman sosial bagi semua.

Fenomena ini seperti yang Sujiwo Tejo singgung, seolah "Yang Pancasila cuma kelompok A, selain kelompok A tidak Pancasila. Yang Agamis cuma kelompok B, selain kelompok B tidak Agamis."

Menurut Hefner, dari fenomena inilah, politikus menggaet dukungan mereka melalui imbauan yang sengaja dibuat selaras dengan aspirasi mereka.

"Harus ada perubahan untuk pekerjaan normatif, menemukan hal yang bisa dieksploitir untuk menciptakan musuh," terangnya.

Lebih lanjut, Direktur the Institute on Culture, Religion, and World Affairs (CURA) itu juga menegaskan bahwa penciptaan musuh itu juga guna membuat sang politikus itu menjadi tokoh.

Tanpa memiliki basis massa yang kuat, dengan berdasar pada penciptaan musuh itu, ia ditampilkan menjadi sosok baru.

Hal itulah, katanya, yang dilakukan oleh Donald Trump dalam upayanya untuk menjadi orang nomor satu di negerinya.

Trump, jelas Hefner, menciptakan banyak musuh.

Dua di antaranya adalah imigran Amerika Latin dan komunitas Muslim.

Populisme, menurutnya, menciptakan ketegangan di antara masyarakat sipil.

Sumber: TribunSolo.com
Halaman 2 dari 3
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved