Sekeluarga di Polokarto Tempati Rumah Gedek Beralas Tanah, Dinding Bambu Hanya Dilapisi Kain Spanduk
Warti asal Dusun Wonosari RT 02/RW 06, Mranggen, Polokarto, Sukoharjo, ini menempati rumah semi permanen dengan dinding dari anyaman bambu (gedek)
Penulis: Agil Trisetiawan | Editor: Noorchasanah Anastasia Wulandari
Laporan Wartawan TribunSolo.com, Agil Tri
TRIBUNSOLO.COM, SUKOHARJO - Satu keluarga yang terdiri dari seorang ibu dan dua orang anaknya harus rela menempati rumah yang bisa dibilang tak layak huni.
Warti asal Dusun Wonosari RT 02/RW 06, Mranggen, Polokarto, Sukoharjo, ini menempati rumah semi permanen dengan dinding dari anyaman bambu (gedek) dan kayu.
Di dinding tertempel beberapa MMT untuk menutupi dinding rumah yang bolong.
Pondasi rumah ini juga hanya dari beberapa bambu dan kayu menjulang tinggi sekitar 4-5 meter untuk meyangga rumah.
"Dulu suami saya membangun rumah ini, setelah membeli tanah seluas 17 x 9 meter, namun setelah rumahnya jadi, suami saya sakit-sakitan sampai akhirnya meninggal," kata Warti, Sabtu (2/2/2019).
Sudah lima tahun Warti dan kedua anaknya menempati rumah berukuran 6 x 6 meter ini.

Rumah masih beralaskan tanah, ada sebuah tikar yang digelar di dalam kamar satu-satunya di rumah ini untuk mereka membaringkan badan.
Tidak ada kamar mandi di rumah ini.
Untuk kebutuhan di kamar mandi, keluarga Warti memakai kamar mandi di rumah orang tuanya yang jaraknya sekitar 50 meter dari rumahnya.
Ada sebuah TV tabung berukuran 14 inch sebagai satu-satunya hiburan di dalam rumah itu.
Dua buah lampu bolam yang menerangi rumah ini, meski listrik masih disalurkan dari rumah tetangganya, dengan membayar Rp 20-30 ribu/bulan.
Pekerjaan sebagai seorang petani musiman yang menggarap sawah orang lain, membuat Warti hidup di bawah garis kemiskinan dengan pendapatan Rp 70 ribu jika saat musim panen.

"Jika tidak musim panen, ya di rumah saja," katanya.
Anak Berhenti Sekolah
Kedua anaknya bernama Angga Sri Widodo (13) dan Rico Adi Pratama (7) saat ini sudah mengenyam pendidikan di SD Negeri 2 Mranggen dan TK Mranggen 2.
Karena berada di bawah garis kemiskinan, membuat Angga mendapat perlakuan berbeda oleh teman-teman sekolahnya, sehingga dia tidak mau sekolah lagi.
"Saya berhenti sekolah sudah satu tahun ini saat kenaikan kelas lima ke kelas enam, kalau di sekolah teman-teman enggak mau bicara sama saya," kata Angga.

Di sisi lain, Angga mengaku masih ingin bersekolah untuk menggapai cita-citanya yang ingin memiliki sebuah bengkel motor.
Angga mengaku selama ini ikut membantu perekonomian keluarganya dengan bekerja serabutan.
"Kalau tetangga manggil minta bantu-batu saya bantuin, biasa diberi Rp 15-20 ribu, uangnya buat beli makanan," katanya. (*)