Pilpres 2019
Mahfud MD Sebut Aksi 22 Mei Berbeda dengan Aksi 98: Dulu Rektor, Mahasiswa, Sampai Tukang Sapu Ikut
Menurut Mahfud MD, aksi 22 Mei kemarin berbeda dengan aksi 1998 saat jatuhnya Orde Baru.
Penulis: Fachri Sakti Nugroho | Editor: Fachri Sakti Nugroho
TRIBUNSOLO.COM - Pakar Hukum dan Tata Negara, Mahfud MD kembali angkat bicara soal aksi demonstrasi 22 Mei di Jakarta.
Menurut Mahfud MD, aksi 22 Mei kemarin berbeda dengan aksi 1998 saat jatuhnya Orde Baru.
Diceritakan oleh Mahfud MD, pada tahun 1998 semua elemen masyarakat bersepakat untuk melengserkan rezim yang berkuasa saat itu, yakni Presiden Soeharto.
Berbeda dengan saat ini yang mana aksinya hanya diikuti oleh pendukung salah satu kubu politik.
• Kriteria Menteri Menurut Jokowi: Enggak Bicara Partai dan Non Partai, Lebih Penting Kemampuan
"Jauh-jauh, tahun 98 hampir tidak ada yang tidak setuju agar rezim orba itu dilengserkan," kata Mahfud MD saat wawancara di Metro TV, Sabtu (25/5/2019).
"Kampus, LSM bahkan DPR dan MPR-nya sendiri."
"Kalau sekarang ini enggak, ini hanya persaingan antara dua paslon."
"Jadi banyak dari warga masyarakat yang diam tidak ikut," kata Mahfud MD.
Mahfud MD menambahkan saat itu mahasiswa, rektor, hingga tukang sapu di kampus ikut turun aksi pada tahun 1998.
"Kalau dulu hampir semua ikut, semua kampus, mulai dari rektornya, mahasiswanya, sampai tukang sapunya dulu ikut," kata Mahfud MD.
Terkait demonstrasi yang beberapa waktu lalu terjadi, Mahfud MD menyebut hanya diinisiasi oleh oknum tertentu.
Sehingga jauh berbeda kondisinya dengan aksi 1998.
"Kalau sekarang kan enggak, kita bisa identifikasi siapa yang selalu tampil, siapa yang selalu berbicara, berapa besar pengikutnya dan dimana kita bisa mengukur," kata Mahfud MD.
"Ini jauh lah kalau dari tahun 98," imbuhnya.
Mahkamah Kalkulator
Selaku Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD juga menanggapi wacana yang beredar yang menyebut Mahkamah Konstitusi sebagai Mahkamah Kalkulator.
Menurut Mahfud MD penyebutan Mahkamah Konstitusi sebagai Mahkamah Kalkulator adalah adalah penilain publik yang tak perlu ditafsirkan berlebihan.
Ketika disinggung apakah penyebutan tersebut merupakan bagian dari contempt of court (penghinaan terhadap lembaga peradilan), Mahfud MD menyebut istilah contempt of court secara resmi belum ada dalam tata hukum Indonesia.
• Mahfud MD Sebut Aksi Massa di Bawaslu Tidak Ada Kaitannya dengan Prabowo dan Bela Islam
Meski begitu, hukum tentang pelecehan terhadap pejabat publik sudah diatur sendiri dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia.
"Istilah contempt of court itu secara resmi dalam tata hukum kita belum ada," kata Mahfud MD.
"Tetapi dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, pelecehan atau perusakan terhadap pejabat publik ada hukumannya sendiri."
Tapi ini harus dianggap sebagai bagian dari penilaian publik yang tak usah ditafsir berlebihan," imbuh Mahfud MD.
Selanjutnya, Mahfud MD menceritakan pengalamannya saat menjabat sebagai Ketua MK dan didemo oleh massa.
Saat itu, MK juga dituding sebagai Mahkamah Kalkulator yang sudah diatur oleh Presiden petahana Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Meski begitu, pihaknya selaku MK tetap menjalankan sidang sebagaimana mestinya.
"Saya punya pengalaman tahun 2009 itu sama, Mahkamah Konstitusi dituding sebagai Mahkamah Kalkulator dituding sudah diatur oleh Presiden SBY dan sebagainya waktu itu," kata Mahfud MD.
"Seminggu sebelum putusan MK itu demo setiap hari."
"Tapi kita jalan saja," imbuh Mahfud MD.
Mahfud MD menambahkan, setelah MK mengeluarkan putusan, semua pihak yang bersengketa langsung menerima keputusan dari MK.
• Mahfud MD Batal Gabung ke Tim Hukum Wiranto, Anak Amien Rais, Hanum Rais Singgung soal Gaji
Bahkan, tak berselang lama setelah MK 'mengetok palu', pihak Megawati Soekarno Putri yang saat itu berpasangan dengan Prabowo Subianto dan Jusuf Kalla yang berpasangan dengan Wiranto langsung membuat pengumuman menerima keputusan MK yang memenangkan pasangan SBY-Boediono.
"Kemudian saya ingat tanggal 12 Agustus 2009 jam 4 sore saya mengetok palu."
"Bahwa sesudah memeriksa dengan seksama kami memutuskan bahwa Pak SBY tetap menang."
"Itu jam 4 sore, jam setengah 5 Ibu Megawati sudah dengan sikap kenegarawanannya mengatakan kami menerima keputusan ini karena itu sudah putusan hukum."
"Pada waktu yang bersamaan Jusuf Kalla yang berpasangan dengan Wiranto juga menyatakan menerima," kata Mahfud MD.
Setelah semua pihak menerima putusan MK, Mahfud MD menyebut kondisi masyarakan yang panas menjadi reda.
Juga situasi negara berjalan normal seperti biasanya.
Mahfud MD memprediksi, hal yang sama akan terjadi nanti setelah MK membuat keputusan hukum terkait pemenang Pemilu antara Jokowi-Ma'ruf dan Prabowo-Sandi.
"Saat itu juga ketegangan mereda dan besoknya situasi negara berjalan normal."
"Saya juga menduga begini nanti tanggal 28 Juni, InsyaAllah akan terjadi hal yang sama."
"Pihak yang kalah akan menrima putusan MK."
Rakyat akan tenang kalau begitu," kata Mahfud MD.
Simak video lengkapnya di bawah ini.
(*)