Update Sidang MK Terbaru
Mahfud MD: Saya yang Pertama Kali Melontarkan Istilah Mahkamah Kalkulator, Bukan Bambang Widjojanto
Mahfud MD menyebut bahwa dirinya yang pertama kali mengatakan istilah 'Mahkamah Kalkulator'.
Penulis: Fachri Sakti Nugroho | Editor: Fachri Sakti Nugroho
TRIBUNSOLO.COM - Mahfud MD menyebut bahwa dirinya yang pertama kali mengatakan istilah 'Mahkamah Kalkulator'.
Dijelaskan oleh Mahfud MD, Bambang Widjojanto bukanlah orang pertama yang menyebut Mahkamah Konstitusi sebagai Mahkamah Kalkulator.
Melainkan dirinya yang mengatakan istilah tersebut pada akhir 2008 silam.
Bahkan pernyataan Mahfud MD dijadikan headline koran nasional saat itu.
• Yusril Ihza Sebut Semua Dalil BPN Prabowo-Sandi Sebatas Asumsi, Lemah dan Mudah Dipatahkan
Pernyataan Mahfud MD tersebut merupakan tanggapan saat diwawancara Tv One, apakah Mahkamah Konstitusi bisa mengadili perkara yang bersifat kualitatif dalam menyelesaikan sengketa Pemilu.
Menurut Mahfud, dari peraturan yang ada saat ini, MK bisa mengadili perkara yang bersifat kualitatif.
Namun perkara tersebut harus dapat dibuktikan kebenarannya lewat saksi-saksi dan alat hukum yang ada.
"Saya baca dari aturan yang ada sekarang, kemudian berdasarkan pengalaman-pengalaman yang berlangsung selama ini, pengadilan di MK itu bisa kuantitatif sekaligus kualitatif," kata Mahfud, Jumat (14/6/2019).
"Menyelesaikan perselisihan hasil pemilu itu dulu dianggap penghitungan kuantitatif semata."
"Sehingga pada waktu itu, tahun 2008 akhir, saya mengeluarkan istilah Mahkamah Konstitusi itu bukan Mahkamah Kalkulator."
"Itu saya yang pertama kali mengatakan dalam kasus Pilkada Jawa Timur."
"Jadi istilah itu bukan dilontarkan pertama kali oleh Pak BW (Bambang Widjojanto)."
"Tapi saya waktu itu, masih ada di HL koran nasional pada waktu itu," imbuhnya.
• Tim Hukum BPN Sebut Nama SBY dalam Sidang Perdana Sengketa Pilpres di MK
Mahfud MD menyebut, kalau hanya menghitung kuantitatif tidak perlu ada Mahkamah Konstitusi.
Karena penghitungan sudah dilakukan oleh KPU secara mutakhir.
"Kalau hanya menghitung kuantitatif untuk apa ada MK."
"Kan penghituganya (KPU) sudah bertingkat."
"Sehingga masuk ke masalah kualitatif," kata Mahfud MD.
Simak videonya di bawah ini.
MK tak lagi menjadi Mahkamah Kalkulator
Senada dengan Mahfud MD, pengamat kepemiluan yang juga Ketua Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif, Veri Junaidi, meyakini Mahkamah Konstitusi (MK) bukan 'mahkamah kalkulator'.
Veri menilai, sembilan hakim MK akan bekerja dengan baik untuk memutuskan hasil sengketa yang dilaporkan tersebut.
Selain itu, MK juga tidak hanya kali ini menangani sengketa pilpres, tapi juga sengketa pilkada dan pileg untuk memutuskan perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU).
“MK sudah pernah membuktikan MK bukan mahkamah kalkulator. Tahun 2017 dalam Pilkada, saat MK memberikan ambang batas 0,5-2 persen, ada 5 daerah yang diputus MK, meski diputus sangat tinggi lebih dari 2 persen,” kata Veri dalam sebuah diskusi di kantor Formappi, Jakarta Timur, Kamis (13/6/2019) dikutip dari Kompas.com.
Baca juga: Menurut Tim Hukum Prabowo-Sandi, MK Berwenang Periksa Seluruh Tahapan Pemilu
• Tim 02 Minta Semua Permohonan Dikabulkan: Tetapkan Prabowo-Sandi sebagai Presiden dan Wakil Presiden
Ia juga memastikan MK akan menjadi lembaga yang sangat profesional untuk menyikapi hasil persengketaan tersebut.
“Soal komitmen itu tidak perlu diragukan lagi bagaimana MK akan memutus perkara ini, atau bagaimana cara pandang MK terkait perselisihan hasil Pemilu,” kata dia.
Oleh sebab itu, Veri meminta kepada BPN sebagai pihak pemohon, KPU sebagai pihak termohon, dan TKN sebagai pihak terkait, untuk memainkan perannya masing-masing dengan baik.
“MK biarkan jadi lembaga independen yang akan memutus perkara secara fair. Sedangkan tugas 02 buktikan dalil tersebut apakah terjadi pelanggaran TSM (terstruktur, sistematis, dan masif),” ujarnya.
Jalannya Sidang Sengketa Pilpres 2019 di MK
Hari ini, sidang perkara perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) untuk calon presiden dan wakil presiden Pemilu 2019 di Mahkamah Konstitusi (MK) digelar, Jumat (14/6/2019).
Sidang perdana ini mengagendakan pembacaan materi gugatan dari pemohon, yakni Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.
Sidang dihadiri juga Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sebagai pihak termohon.
Hadir pula Tim Kampanye Nasional (TKN) Joko Widodo-Ma'ruf Amin sebagai pihak terkait.
Persidangan ini bersifat terbuka untuk umum.
Namun, atas alasan keterbatasan tempat, pihak keamanan MK membatasi jumlah pengunjung yang ingin menonton langsung.
Dalam sidang tersebut, Ketua Tim Hukum Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, Bambang Widjojanto, meminta hakim konstitusi mengabulkan permohonan pasangan calon presiden-calon wakil presiden nomor urut 02, Prabowo-Sandi, untuk seluruhnya.
Hal ini, karena pasangan calon presiden dan calon Wakil Presiden Nomor Urut 01, Joko Widodo-K.H. Ma’ruf Amin, terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan pelanggaran dan kecurangan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tahun 2019 secara Terstruktur, Sistematis dan Masif (TSM).
"Menyatakan batal dan tidak sah Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 987/PL.01.08- KPT/06/KPU/V/2019 tentang Penetapan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota Secara Nasional Dalam Pemilihan Umum Tahun 2019 dan Berita Acara KPU RI Nomor 135/PL.01.8-BA/06/KPU/V/2019 tentang Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara di Tingkat Nasional dan Penetapan Hasil Pemilihan Umum Tahun 2019, sepanjang terkait dengan hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden 2019," kata Bambang Widjojanto, pada saat membacakan petitum, di ruang sidang lantai 2 Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jumat (14/6/2019).
• Tim Hukum Prabowo-Sandi Tuduh Media Tak Netral: 3 Bos Media Besar Menjadi Bagian dari Tim Pemenangan
Atas kecurangan selama penyelenggaraan pesta demokrasi itu, dia meminta MK menetapkan perolehan suara yang benar adalah Joko Widodo–KH. Ma’ruf Amin sebesar 63.573.169 (48%) dan Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno 68.650.239 (52%), Jumlah 132.223.408 (100,00%).
Selain itu, dia meminta membatalkan (mendiskualifikasi) Pasangan Calon Presiden dan Wakil Nomor Urut 01, Presiden H. Ir. Joko Widodo dan Prof. Dr. (HC). K.H. Ma’ruf Amin, MA sebagai Peserta Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden tahun 2019.
• Mahfud MD: Bukan MK yang Tetapkan Pemenang Pilpres 2019, KPU yang Tentukan
Serta menetapkan Pasangan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden Nomor Urut 2, Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih periode tahun 2019– 2024.
"Memerintahkan kepada termohon untuk seketika mengeluarkan surat keputusan tentang penetapan Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno sebagai Presiden dan Wakil Presiden Terpilih periode tahun 2019 – 2024," kata dia.
"Atau menyatakan pasangan capres-cawapres nomor urut 01, Joko Widodo-K.H. Ma’ruf Amin, terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan pelanggaran dan kecurangan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tahun 2019 melalui penggelembungan dan pencurian suara secara Terstruktur, Sistematis dan Masif,".
Selain itu, masih pada petitumnya, memerintahkan termohon untuk melaksanakan Pemungutan Suara Ulang secara jujur dan adil di seluruh wilayah Indonesia, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 22E ayat (1) UUD Negara RI Tahun 1945.
Atau, memerintahkan termohon untuk melaksanakan Pemungutan Suara Ulang secara jujur dan adil di sebagian provinsi di Indonesia, yaitu setidaknya di provinsi: Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Banten, DKI Jakarta, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Lampung, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Papua, dan Kalimantan Tengah, agar dilaksanakan sesuai amanat yang tersebut di dalam Pasal 22E ayat (1) UUD Negara RI Tahun 1945.
• Bantahan Tim Jokowi: Polemik Kenaikan Gaji PNS hingga Tudingan Sumbangan 19,5 Miliar dari Jokowi
"Memerintahkan kepada lembaga negara yang berwenang untuk melakukan pemberhentian seluruh komisioner dan melakukan rekruitmen baru untuk mengisi jabatan komisioner KPU. Memerintahkan KPU untuk melakukan penetapan pemilih berdasarkan Daftar Pemilih Tetap yang dapat dipertanggungjawabkan dengan melibatkan pihak yang berkepentingan dan berwenang," urai BW.
Terakhir, memerintahkan KPU untuk melakukan Audit terhadap Sistem Informasi Penghitungan Suara, khususnya namun tidak terbatas pada Situng.
"Apabila Mahkamah berpendapat lain mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono)," tambahnya. (*)