Larangan Bercadar Dari Menag Identik Dengan Pelarangan Jilbab Masa Orde Baru
Meski belum dalam bentuk aturan, larangan pemakaian simbol-simbol atau atribut pernah dilakukan pemerintah di zaman Orde Baru
“Ia bahkan sempat dipanggil ke Markas Kodim 0824 Jember untuk diinterogasi mengenai Jamaah Imran,” tulis Alwi Alatas dan Fifrida Desliyanti.
Pada waktu yang sama, kecurigaan terhadap siswi pemakai jilbab juga terjadi di SMAN 68 Jakarta.
Salah seorang siswi berjilbab dipanggil oleh guru mata pelajaran agama Islam.
Secara tersirat, sang guru menyatakan kepada muridnya itu bahwa ia “mengkhawatirkan” bahwa keputusan untuk berjilbab disebabkan motivasi politik.
“Kalau kalian berjilbab karena Allah, maka bapak tidak dapat melarang kalian. Tapi kalau kalian berjilbab karena ada unsur-unsur politik maka soal ini menjadi urusan pihak sekolah,” ujar guru tersebut seperti dikutip Alwi dan Fifrida dalam bukunya.
Maraknya para siswi berjilbab di sekolah-sekolah mengilhami pemerintah menerbitkan sebuah aturan baru yakni SK 052/C/Kep/D.82.
Itu adalah surat keputusan yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah (Dirjen Dikdasmen) Prof. Darji Darmodiharjo, S.H. pada 17 Maret 1982.
Isinya: kebijakan baru pemerintah terkait standarisasi penggunaan seragam sekolah secara nasional.
Alih-alih membuat tertib, surat keputusan itu seolah menjadi alat pihak sekolah untuk merepresi para siswi berjilbab.
Korban pun berjatuhan.
Bahkan lebih massif, seperti terjadi di SMAN 3 Bandung pada pertengahan 1982: delapan siswi diancam untuk mengeluarkan diri dari sekolah karena menolak membuka jilbab.
Begitu juga di SMAN 68 Jakarta.
Seorang siswi bernama Siti Ratu Nasiratun Nisa dikeluarkan karena berjilbab.
Kejadian serupa terjadi pula di Tangerang, Bekasi, Semarang, Surabaya, Kendari dan kota-kota lainnya di Indonesia.
Hampir satu dasawarsa, pemerintah Orde Baru tak memberikan kompromi terhadap keberadaan para siswi berjilbab di sekolah-sekolah negeri.
Bagi para jilbaber, pilihannya hanya dua: terus bersekolah namun membuka jilbabnya atau terus berjilbab namun harus pindah ke sekolah swasta.
“Kami seolah menjadi duri dalam daging bagi pihak sekolah,” ungkap Dian Purwita, eks jilbaber di SMAN 31 Jakarta.
Kasus jilbab menjadi semakin menasional ketika pada 1989, muncul isu “jilbab beracun”.
Kala itu beredar isu bahwa ada sekelompok perempuan berjilbab yang kerjanya menebarkan racun di pasar-pasar.
Situasi tersebut menyebabkan para jilbaber terpojok dan sebagian lantas menyerah untuk membuka jilbabnya.
Terlebih, tulis Alwi dan Fifrida, setelah media massa memberitakan kejadian di Pasar Rawu, Serang, ketika seorang perempuan berjilbab dihakimi massa karena dituduh membubuhkan racun di tempat seorang pedagang.
Namun isu “jilbab beracun” justru menjadi titik balik bagi nasib para jilbaber.
Marah atas kejadian-kejadian yang memojokan itu, sebagian umat Islam bereaksi.
Dengan dipelopori oleh para mahasiswa, sepanjang tahun 1990, di kota-kota besar marak terjadi demonstrasi untuk menentang peraturan pemerintah yang mendiskriminasi para perempuan berjilbab.
“Hampir tiap waktu kami turun ke jalan untuk memprotes pemerintah yang kebijakannya tidak berpihak kepada rekan-rekan kami yang berjilbab,” kenang Ivan Garda (44), eks aktivis Remaja Masjid SMAN 9 Bandung kepada Historia.
Lambat laun, kondisi tersebut menyebabkan kekhawatiran pemerintah akan terganggunya stabilitas negara.
Mereka berpikir ulang untuk melonggarkan tekanan kepada kaum Islamis, terlebih memasuki tahun 1990, bandul kepentingan politik pemerintah Orde Baru mulai mengayun ke arah “kanan”.
Maka pada 16 Februari 1991 ditetapkanlah SK.No.100/C/Kep/D/1991 yang intinya berisi membolehkan para siswi untuk mengenakan pakaian yang didasarkan pada keyakinannya.
Menurut Alwi dan Fifrida, surat keputusan tersebut ditetapkan setelah melalui proses konsultasi antara Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dengan sejumlah institusi yang terkait dengan keamanan negara, termasuk BAKIN (Badan Koordinasi Intelijen Negara).
Terbitnya surat keputusan itu tentunya mengakhiri perjuangan panjang para jilbaber untuk menetapkan hak-haknya.
Secara bombastis, Panji Mas (salah satu majalah terbesar Islam saat itu) menyebut waktu keluarnya SK.No.100 sebagai “habis gelap terbitlah terang”.(*)