Kisah Guru TK di Ngawi, 52 Tahun Mengabdi Karena Prihatin Anak di Desanya Sering Berkata Kasar
Kisah seorang guru TK dari Desa Guyung, Kecamatan Gerih, Ngawi yang bernama Ida Rukmiyati yang mulai terjun ke bidang pendidikan karena merasa bosan.
TRIBUNSOLO.COM - Kisah seorang guru TK dari Desa Guyung, Kecamatan Gerih, Ngawi yang bernama Ida Rukmiyati yang mulai terjun ke bidang pendidikan karena prihatin dengan anak-anak di lingkungannya.
Hal tersebut disampaikannya dalam video yang diunggah di kanal YouTube Tribun Solo Official, Selasa (28/7/2020).
Selain itu, Ida atau yang akrab disapa Bu Min juga merasa bosan berada di rumah.
Berawal dari rasa bosan itu, Ida mulai terjun ke dunia pendidikan setelah ia menikah dua tahun dengan Supono.
Meski ia tidak memiliki latar belakang di bidang pendidikan.
Namun sang suami, Supono merupakan seorang guru yang menempuh pendidikan di Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP).
• Nestapa Perempuan 23 Tahun di Klaten Positif Pasca Jenguk Pasien yang Ternyata Terinfeksi Covid-19
• Bidan Asal Juwiring Klaten yang Bekerja di Pukesmas Solo Sembuh dari Corona Seusai 9 Hari di RS
Dan keduanya memutuskan untuk menikah di tahun 1966 silam.
Kemudian pada tahun 1968 Ida mulai mengajar anak-anak yang berada di lingkungan sekitar rumahnya.
Ida menjelaskan, alasannya terjun ke bidang pendidikan karena merasa bosan berada di rumah.
Berbekal sarana dan prasarana yang di punya, Ida memutuskan untuk mengajar anak-anak di desa.
Tak hanya itu, faktor lingkungan juga mempengaruhi keputusan Ida tersebut.
"Kami mulai memegang anak-anak untuk mengajar dari menikah dua tahun, jadi nikah 1966, 1968 sudah mulai."
"Karena jenuh di rumah, terus manfaatkan apa yang kami punya karena situasi lingkungan rumah kami," terang Ida.
Ida menerangkan anak-anak di desanya banyak yang sering berbicara kotor.
Hal tersebut dikarenakan kurangnya pendidikan dari orangtua mereka.
Di mana sejak pagi, mereka akan ditinggal oleh ayah dan ibu untuk bekerja di sawah maupun tempat lainnya.
Selain itu, para orangtua tidak memiliki pendidikan yang baik juga menjadi keprihatinan Ida.
Temuan-temuan itu menggerakkan hati Ida untuk mengumpulkan anak-anak.
"Dulunya itu banyak perkataan yang kotor, terjaring dari itu kami punya semangat anak-anak kecil itu saya kumpulkan," jelas Ida.

"Kan anak-anak kecil tahun itu di rumah itu sendirian, bapak ibunya pergi ke sawah atau bekerja," tambahnya.
Mulanya, hanya anak-anak yang berada di tiga atau empat rumah terdekat.
Saat dikumpulkan, mereka diajarkan hal baik mengenai kehidupan sehari-hari.
Satu di antaranya adalah bagaimana menghormati orangtuanya ketika berada di rumah.
Ida memberikan contoh untuk bersikap sopan dan santun kepada orangtua mereka.
"Empat sampai tiga rumah saya kumpulkan saya mengajar, yang paling baik kami ajak kepada menghormati bapak ibunya," ungkap Ida.
Meski demikian, Ida juga sempat mengalami kendala dalam mengajar anak-anak di desanya.
Tak memiliki latar belakang pendidikan, Ida menjadi bingung pelajaran apa yang bisa diberikan untuk mereka.
Ida pun memutuskan untuk mencari referensi dengan membaca buku tentang mengajar anak.
Di mana kala itu, di desa tempat ia tinggal belum ada pendidikan tingkat dini yakni taman kanak-kanak (TK).

Dengan bantuan kepala desa setempat, anak-anak TK yang diajar oleh Ida mendapatkan bangku untuk sekolah.
"Sehingga saya mencari buku-buku tentang mengajar anak, tahun itu belum ada TK di kecamatan saya," tutur Ida.
"Setelah Kepala Desa tanggap membuatkan bangku dan itu belum diberi nama tidak ada pelaporan TK," lanjutnya.
Selain membaca buku soal mengajar anak, Ida juga memperoleh informasi dari sumber lain.
Ketika sang suami masih kuliah, Ida sering memperbaiki catatatan Supono.
Saat itu dengan keterbatasan, kuliah IKIP masih harus menumpang di ruang kelas sekolah dasar.
Atau terkadang mereka harus pergi ke alun-alun untuk berkuliah.
Karena belum ada fasilitas fokotopi, Supono mencatat seadanya materi yang diberikan oleh dosennya.
Sementara itu Supono memilih untuk pergi ke sawah.
"Kan nggak ada fotokopi, kalau dosen memberikan pelajaran tulis menulis gitu, langsung saya disuruh memperbaiki di rumah dia bekerja ke sawah."
"Pinternya dari situ, menyalin tulisan dari perkuliahan itu tadi di bidang pendidikan," pungkasnya.
(*)
Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Kisah Seorang Guru Mengajar TK 52 Tahun, Berawal dari Rasa Prihatin Dengar Anak Desa Berkata Kasar