Solo KLB Corona
Belajar Optimistis dari Tukang Jahit Jalanan di Solo, Terpuruk karena Pandemi, Kini Mencoba Bangkit
Cerita kaum kecil yang bertahan dan bangkit dari hantaman Corona di Kota Solo.
Penulis: Adi Surya Samodra | Editor: Asep Abdullah Rowi
Laporan Wartawan TribunSolo.com, Adi Surya Samodra
TRIBUNSOLO.COM, SOLO - Keterbatasan modal hingga tempat tak menjadi masalah berarti bagi mereka yang tetap berkarya di jalanan.
Ya, bukan di rumah apalagi di kios yang biasanya untuk berwirausaha, pria bernama Hendrik Sulistianto (33) asal Kabupaten Purwodadi mengadu nasib jadi penjahit jalanan.
Dia membuka jasa jahit di pinggir Jalan Moh Yamin, Kelurahan Kratonan, Kecamatan Serengan, Kota Solo tepatnya, 200 meter sebelah timur SMA Negeri 7 Kota Solo.
Tangganya tampak mahir mengayun-ayunkan mesin jahit klasiknya tengah menjahit pakaian pelanggan.
• Kronologi Lengkap Laka Maut di Tol Solo-Ngawi, 3 Nyawa Melayang, 1 Balita Selamat di Pangkuan Ibunya
• Ini Tips Buka Usaha Bila Terjadi Resesi Ekonomi, Pengamat Ekonomi UNS Solo: Harus Riset Dulu
"Hampir 10 tahun saya menggeluti duni jahit. Dulu saya pernah ikut teman yang punya bisnis jahit di Semarang selama 3 tahun," kata dia kepada TribunSolo.com, Sabtu (3/10/2020).
"Setelahnya saya memutuskan coba membuka sendiri dan memilih Kota Solo," tambahnya.
Ekonomi warga menjadi alasan Kota Solo dipilihnya sebagai tempat mengadu nasib berikutnya bersama temannya.
"Di sini juga ramai, ramainya kayak di Semarang," tutur Hendrik.
Hendrik kemudian memilih melancong bersama rekannya dan meninggalkan istri dan seroang anak di kampung halaman.
"Setiap tiga hari sekali biasanya transfer. Kalau di kampung halaman butuh uang langsung saya transfer," ujarnya.
Pendapatannya kini tengah digoyang akibat pandemi Covid-19 yang melanda di Indonesia, termasuk Kota Solo.
Bahkan, Hendrik sempat terseok-seok saat Pemerintah Kota (Pemkot) Solo mengumumkan status Kejadian Luar Biasa (KLB) pertengahan Maret 2020 silam.
"Awal-awal pandemi mau cari pendapat Rp 100 ribu per hari saja harus ngoyo sekali," ucap dia.
"Biasanya ramai. Kemarin awal-awal itu cuma bisa tidur makan saja. Tidak ada pemasukan," tambahnya.
Kalaupun buka, Hendrik mengatakan hanya bisa mendapat Rp 30 ribu sampai Rp 50 ribu saat awal KLB.
Padahal sebelum pandemi, Hendrik bisa mengerjakan sampai 100 pesanan per harinya.
Adapun pelanggannya selama tiga tahun inu kebanyakan warga sekitar.
"Pernah buka minimal dapat Rp 30 ribu sampai Rp 50 ribu saja," tutur dia.
"Orang-orang waktu itu mungkin mau keluar rumah mikir-mikir," imbuhnya.
• Identitas Pengendara saat Laka Maut di Jalan Tol Solo-Ngawi, 3 Korban Meninggal Adalah Warga Sleman
• Dicari : Para Pelanggan yang Sempat Kontak, Pasca Tukang Pijat di Banjarsari Solo Positif Corona
Tidak pastinya pendapatan saat awal KLB, membuatnya sesekali pulang kampung membangu usaha keluarga.
Hendrik mengaku memiliki usaha ayam petelur di kampung halamannya yang dikelola sang istri.
"Ada 100-an ayam. Kemarin harga ayam sempat naik sekitaran Rp 18 ribu per kilonya. Bisa jual 10 kilogram. Alhamdulilah masih bisa untuk kebutuhan," akunya.
Pasca Hari Raya Idul Fitri, Hendrik dan kawannya mulai coba membuka lagi lapak jasa jahit mereka.
Itupun dengan penerapan protokol kesehatan Covid-19 yang ketat.
"Sekarang bisa jalan sedikit-sedikit. Pelanggan yang tak pakai masker tidak dilayani," tuturnya.
Kondisi Ekonomi
Pemerintah melalui Kementrian Keuangan memproyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal III-2020 bakal minus.
Proyeksi itu menujukkan Indonesia kini tengah berada di jurang resesi, karena pertumbuhan ekonomi kuartal II-2020 juga minus.
Pertumbuhan ekonomi pada kurartal itu tercatat sebesar minus 5,23 persen.
Posisi Indonesia yang berada di tepian jurang resesi diamini Pengamat Ekonomi Universitas Sebelas Maret (UNS) Kota Solo, Taufiq Arifin.
"Jika kondisi tetap seperti ini, secara definisi kita masuk ke arena resesi," kata Taufiq dalam Obrolan Virtual Overview : Trik Atur Uang Jelang Resesi, Kamis (1/10/2020).
"Secara teori, ekonomi mengatakan bahwa ketika sebuah negara dalam dua kuartal berturut-turut mengalami pertumbuhan ekonomi negatif," papar dia.
"Ada penurunan PDB dua kuartal berturut-tururt maka sebuah negara masuk arena resesi," tambahnya.
• Polisi Tangkap Otak Penyerangan di Mertodranan Solo, Bersembunyi di Rumah Terduga Teroris di Jepara
• Daftar Barang yang Dibakar Bea Cukai Solo, Nilai Miliaran Rupiah, Tak Hanya Sex Toys Tapi Ada Kondom
• Dampak Libur Panjang, Kebugaran Pemain Persis Solo Belum 100 Persen Meski Sudah Jalani Latihan
• Tiga Pemain Eks Persipura Jayapura U-21 Ikuti Latihan Persis Solo, Ini Harapannya
Apalagi sejumlah indikasi resesi nampak, misalnya angka pengangguran yang naik, dan menurunnya aktivitas ekonomi.
"Itu disebabkan tingkat konsumsi berubah atau turun," imbuhnya.
Kondisi ekonomi Indonesia saat ini dinilai Taufiq berbeda ketika krisis moneter melanda medio 1998.
"Krisis moneter terjadi ketika ekonomi turun cukup drastis dan laju inflasi cukup tinggi." kata dia.
"Pertumbuhan macet dan hampir mungkin tidak berjalan," ujar dia.
"Dampaknya juga lebih besar, seperti terjadi PHK besar-besaran, harga kebutuhan naik drastis, dan nilai mata uang turun drastis tidak terkontrol," jelasnya.
Itu ditunjukkan dengan stabilitas tingkat inflasi dan nilai tukar rupiah di tengah pandemi Covid-19.
"Kestabilan harga kebutuhan pokok, dan nilai tukar rupiah pun kita cenderung stabil di bawah Rp 15 ribu," ucap Taufiq. (*)