Klaten Bersinar
Selamat Datang di Klaten Bersinar

Sejarah Kota Solo

Asal-usul 'Mburi RRI' Jadi Daerah Prostitusi di Solo : Temani Malam Para Penunggu Kereta Selanjutnya

Asal-usul 'Mburi RRI' Jadi Daerah Prostitusi di Solo : Temani Malam Para Penunggu Kereta Selanjutnya

Penulis: Muhammad Irfan Al Amin | Editor: Aji Bramastra
TribunSolo.com/Muhammad Irfan Al Amin
Satu sudut di kawasan sekitar RRI Solo, yang identik dengan kawasan lokalisasi. 

Laporan Wartawan TribunSolo.com, Muhammad Irfan Al Amin

TRIBUNSOLO.COM, SOLO - Menyebut nama RRI di Kota Surakarta, akan terbersit dua hal dengan makna yang jauh berbeda.

Pertama, persepsi mengenai kantor radio yang telah melegenda sejak Indonesia belum merdeka.

Baca juga: Sejarah Taman Satwa Taru Jurug Solo : Dibangun untuk Memindah Kebun Binatang Milik Raja Solo

Baca juga: Sejarah Riwayat Masjid Agung Surakarta : Kubah Emas Murni dari Sang Raja Solo Harus Dicopot

Kedua, lokasi prostitusi yang juga umurnya jauh lebih tua dari Indonesia.

Keberadaan lokalisasi di jalanan sekitar kantor RRI ini memiliki jalan cerita yang amat panjang.

Kantor yang terletak di Kelurahan Kestalan ini, selalu ramai oleh kupu-kupu malam dan para pria hidung belang.

Situasi transaksional ini selalu terjadi setiap hari.

Hanya di bulan Ramadhan mereka berlibur, ada yang pulang kampung, atau masih bekerja namun di lokasi yang berbeda.

Sehingga sangat melekat dan sulit dihilangkan, walau berbagai program pengentasan telah dicoba.

Dari program tingkat kota hingga nasional, tetap sulit untuk menghilangkan kebiasaan para penjaja seks tersebut untuk berhenti berniaga.

Dari program yang bersifat persuasif, seperti edukasi dan ceramah dari enam tokoh agama telah semuanya dicoba.

Hingga kegiatan yang bersifat represif, seperti operasi yustisi oleh Satpol PP, dan aparat kepolisian masih belum mempan untuk membuat mereka jera.

Tidak jarang Ormas dari beragam elemen juga kerap datang untuk memberi peringatan, walau tak jarang sering terjadi adu fisik, para wanita tuna susila ini hanya lari dan keesokan hari mereka akan kembali.

Membangun lapak bercinta dan kembali menjajakan diri.

Sejatinya Kestalan bukan satu-satunya lokasi yang dipenuhi dengan kegiatan prostitusi.

Kelurahan Gilingan, tepatnya di belakang Terminal Purwodadi juga menjadi area mangkal untuk menarik konsumen.

Akibat kegiatan prostitusi, wilayah ini sering menjadi zona merah penyakit HIV-AIDS, dari penularan aktivitas seksual tanpa kontrasepsi.

Beruntung, warga Kestalan dan sekitarnya semakin sadar akan bahaya lokasi prostitusi.

Menurut informasi dari Kelurahan Kestalan, tidak ada warganya yang turut campur dalam aktivitas transaksi seksual.

Ada semacam aturan tak tertulis, bahwa masyarakat setempat tidak boleh mengotori atau melakukan pelanggaran di sekitar lingkungannya sendiri.

Termasuk berhubungan seks dengan para PSK.

Walau tidak jarang kerap mendapat diskon dari para mucikari sebagai bentuk penghormatan kepada warga asli.

Sejarah Prostitusi Kestalan

Keberadaan kegiatan prostitusi di Kelurahan Kestalan, Kecamatan Banjarsari, ternyata bukanlah hal baru.

Tidak seperti prostitusi online yang baru marak saat era digital saat ini.

Prostitusi pada salah satu kelurahan di Kecamatan Banjarsari ini telah ada sejak era Kolonial Belanda masih berkuasa.

Keberadaan Stasiun Solo Balapan yang telah berdiri sejak 10 Februari 1870 menjadi salah satu penyebabnya.

Hal ini diceritakan oleh Beni Susetyo, sosok penanggung jawab dalam penanggulangan HIV di Kelurahan Kestalan.

Pada saat pertama berdiri, Stasiun Balapan masih sangat terbatas dalam fasilitas.

Sehingga tak jarang para penumpang harus transit untuk menunggu jadwal kereta yang akan melaju berikutnya.

Ketiadaan tempat menginap di stasiun, membuat para penumpang yang menunggu jadwal kereta berikutnya, harus keluar dan mencari losmen atau hotel guna singgah sementara.

Bagi mereka yang tak ada uang di sakunya, akan menggelar tikar dan tidur di jalanan beratapkan langit dan bintang.

Nah, dari para musafir yang menginap di sekitar stasiun inilah, para wanita tuna susila datang silih berganti.

Pada mulanya para wanita dari penduduk sekitarlah yang menjajakan diri.

Seiring perkembangan waktu, para perempuan dari kota lain mulai berdatangan dan ikut meramaikan.

Mereka datang dari kota sekitar seperti Boyolali, Wonogiri bahkan tercatat ada yang dari Banyuwangi.

Semakin ramainya aktivitas transaksi seksual ini, membuat pihak Kasunanan Surakarta, Mangkunegaran dan kolonial pusing.

Akibatnya, para mucikari harus mendapat izin ketat untuk membuka usaha mereka.

Menurut Sejarawan Solo Societeit, Heri Priyatmoko, bisnis esek-esek yang dilegalkan mendapat tanda pamflet berwarna hitam.

Syarat untuk mendapatkan pamflet itu, para pemilik panti pijat atau bordil haru menyediakan fasilitas lengkap seperti handuk, dan kasur bersih yang selalu diganti setiap saat.

Para PSK nya pun harus rajin diperiksa oleh dokter, agar tercegah dari penyakit seksual menular dan menandai bagi mereka saja yang sedang hamil atau menstruasi untuk mengambil libur.

Pihak Kasunanan, Mangkunegaran dan Kolonial juga tak segan untuk menutup tempat hiburan malam apabila ditemukan pelanggaran.

Seperti pemerkosaan, perilaku seks menyimpang dan menjual anak-anak di bawah umur untuk bekerja sebagai PSK.

Demikianlah gambaran kegiatan prostitusi kolonial di Kelurahan Kestalan.

Masyarakat akrab menyebutnya dengan sebutan prostitusi mburi RRI atau di belakang RRI.

Namun sejatinya kegiatan aktivitas syahwat itu telah ada jauh sebelum RRI berdiri.

Eksodus Pelacuran Dari Silir ke Kestalan

Menyebut nama Kelurahan Kestalan, Masyarakat Surakarta akan sepakat bahwa tempat tersebut adalah lokalisasi prostitusi.

Ternyata, para PSK yang bekerja sebagian besar atau bahkan semuanya bukan warga asli dari Kestalan.

Tidak sedikit dari mereka yang warga pendatang dari luar kota dan berniat mencari kerja dengan cara menjual diri.

Bahkan Kelurahan Kestalan kini menjadi pasar bagi para wanita tuna susila, karena lokalisasi sebelumnya yang ada di Kelurahan Semanggi telah berubah fungsi.

Dilansir dari Tribunnews.com, banyak pekerja seks di Kestalan merupakan eksodus dari Semanggi.

Akibat revitalisasi yang dilakukan pada masa pemerintahan Walikota Joko Widodo.

Pada era itu, pembangunan dilakukan secara masif, pasar digalakkan, rumah sakit dibangun, pemukiman kumuh yang menjadi sarang perbuatan mesum digusur secara perlahan.

Namun upaya para Pemerintah Kota Surakarta, hanya berjalan sementara.

Bagi mereka yang terbiasa dan nyaman terjun di dunia malam hanya berpindah tempat saja, dan berpencar ke berbagai penjuru salah satunya Kestalan.

Hal ini pernah diungkapkan oleh Wakil Ketua Perkumpulan Keluarga Berencana, Budi Wahyuni yang mengatakan keberadaan prostitusi akan sulit dihilangkan.

Sifatnya akan seperti air, apabila ditutup pada satu sisi maka akan membuat genangan di sisi lain.

Bahkan menurut Beni Susatyo selaku Ketua Pokja HIV-AIDS di Kestalan, banyak para PSK paruh baya yang sudah tak laku membuka lapak mereka di bantaran sekitar Monumen Banjarsari.

Mereka sudah tak bisa lagi bersaing dengan para perempuan yang lebih muda dan masih eksis di Kestalan hingga kini. (*) 

Sumber: TribunSolo.com
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved