Sejarah Kota Solo
Kisah Pahlawan Sumpah Pemuda dari Solo, Ki Sarmidi Mangunsarkoro : Si Menteri Sarung yang Merakyat
Kisah Pahlawan Sumpah Pemuda dari Solo, Ki Sarmidi Mangunsarkoro : Si Menteri Sarung yang Merakyat
Penulis: Muhammad Irfan Al Amin | Editor: Aji Bramastra
Laporan Wartawan TribunSolo.com, Muhammad Irfan Al Amin
TRIBUNSOLO.COM, SOLO - Tidak banyak masyarakat yang mengetahui siapa Ki Sarmidi Mangunsarkoro.
Ki Sarmidi Mangunsarkoro atau akrab dipanggil dengan Sarmidi merupakan Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan pada era Orde Lama.
Baca juga: Sejarah Asal-usul Masjid Al Fatih Kepatihan, Mahar Lamaran Raja Solo untuk Sang Pujaan Hati
Baca juga: Asal-usul Kecamatan Colomadu Terpisah dari Karanganyar : Mangkunegaran Tak Mau Lepas Daerah Emas
Lahir pada 23 Mei 1904, di Desa Banyuanyar, Kecamatan Colomadu, Kabupaten Karanganyar.
Saat itu Banyuanyar masih ikut wilayah Colomadu, Karanganyar.
Namun kini, Banyuanyar sudah menjadi bagian dari Kota Solo.
Begitu lahir, Sarmidi langsung beruntung karena memiliki orang tua berlatar belakang priyayi.
Ayahnya Mangunsarkoro adalah seorang abdi dalem Keraton Surakarta dan mendapat gelar 'Rangga' sehingga namanya menjadi 'Rangga Mangunsarkoro'.
Sedangkan ibunya adalah Eyang Wiryo Widjojo, seorang ibu rumah tangga biasa yang hidup dalam lingkup keraton.
Sarmidi mendapat banyak keistimewaan, terutama dalam meraih akses pendidikan yang kala itu tidak semua anak bisa mendapatkannya.
Sejak kecil Sarmidi telah mengetahui bahwa dirinya diistimewakan daripada anak-anak lainnya yang sepantaran.
Walau hidup di lingkungan feodal dimana ketimpangan antara kehidupan bangsawan dan rakyat sangat jauh.
Dirinya menyadari bahwa sistem pendidikan yang tidak berpihak kepada rakyat kecil harus segera diubah.
Seperti dilansir oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam tulisan "Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia 1945-2018".
Bahwasanya Sarmidi telah memiliki cita-cita untuk menjadi guru sejak dini.
Maka dimulailah perjalanan pendidikannya dari Sekolah Angka Loro di Sawahan Surakarta.
Selesai pendidikan pertamanya, Sarmidi melanjutkan ke Sekolah Teknik Prinses Juliana School di Yogyakarta.
Walau mengenyam pendidikan teknik, Sarmidi lebih tertarik ke minat pertamanya yaitu pendidikan dan pengajaran.
Maka pada masa itu, dia banyak menghabiskan waktu luangnya di luar kelas dengan membaca banyak buku pendidikan dan psikologi.
Maka setamatnya dari Sekolah Teknik Prinses Juliana School, Sarmidi langsung bergegas menuju Batavia untuk melanjutkan pendidikan ke Sekolah Guru Arjuna.
Di Batavia itu pula, karakter Sarmidi sebagai seorang pemimpin dan pejuang terbentuk.
Karena bertemu dengan tokoh pergerakan dari berbagai daerah yang memiliki tujuan yang sama yaitu Indonesia merdeka.
Peran Ki Sarmidi Mangunsarkoro Dalam Perumusan Sumpah Pemuda
Aktivitas Sarmidi ternyata tidak hanya berhenti pada kegiatan belajar saja.
Namun juga turut berkecimpung dalam organisasi Jong Java pada tahun 1922.
Sebagai anggota aktif, Sarmidi mengeluarkan berbagai macam gagasannya mengenai bangsa ke dalam bentuk tulisan.
Oleh Jong Java tulisan Sarmidi diterbitkan di majalah Soeara Afdeling Djogja milik Jong Java.
Kepiawaiannya dalam menulis dan memikat pembaca, mengantarkannya untuk duduk menjadi Ketua Jong Java pada tahun 1926.
Selama masa kepemimpinannya, Sarmidi menunjukkan kepiawaiannya dalam retorika.
Terutama pada saat pelaksanaan Kongres Sumpah Pemuda II, yang dilaksanakan pada 28 Oktober 1928.
Walaupun usianya masih 24 tahun, Sarmidi telah mendapatkan podium untuk berpidato.
Sesuai dengan bidang yang Ia pelajari, Sarmidi memaparkan mengenai tema pendidikan dan kebangsaan.
Menurut Martin Suryajaya dalam tulisannya 'Merayakan Indonesia Raya', Sarmidi menggagas adanya kemerdekaan dalam pendidikan.
Agar tidak ada sekat pemisah antar rakyat Indonesia, sehingga semuanya memiliki akses untuk mendapat pendidikan di sekolah dengan setara.
Dalam forum yang dihadiri oleh tokoh bangsa seperti Mohammad Yamin, Purnomowulan hingga Mr.Sunario, mereka sepakat selain ikrar sumpah pemuda, perlu ada realisasi terhadap berjalannya pendidikan bangsa.
Cita-cita mulia ini semuanya baru terwujud setelah Indonesia merdeka.
Akibat tekanan dari pemerintah Kolonial Belanda yang melarang setiap ide hasil rapat pada kongres pemuda tersebut.
Ide brilian Sarmidi terbentuk karena pendidikan yang ditempuh dan ribuan buku-buku bacaannya.
Namun peran gurunya, Ki Hajar Dewantara, memberikan pengaruh besar pada dirinya.
Bahkan banyak literatur yang menyebutkan bahwa Sarmidi adalah penerus ide dan pemikiran dari Ki Hajar Dewantara dalam bidang perjuangan pendidikan.
Dari Guru Taman Siswa Menjadi Guru Bangsa
Perjuangan Sarmidi tidak berhenti pada pidato kongres pemuda di Jakarta saja.
Akan tetapi juga dilakukan dalam aksi tindakan nyata di lapangan yaitu menjadi guru di Taman Muda Perguruan Taman Siswa Yogyakarta.
Saat menjadi guru, Sarmidi mendapat gelar 'Ki' di depan namanya.
Sehingga di kemudian hari, namanya menjadi Ki Sarmidi Mangunsarkoro, agar menandakan bahwa dirinya seorang guru.
Perjalanannya menjadi guru di Yogyakarta tidaklah lama, hanya tiga tahun lalu pindah ke Jakarta.
Di Jakarta, Sarmidi dilantik menjadi kepala sekolah HIS Marsudi Rukun.
Atas permintaan warga Jakarta tepatnya di wilayah Kemayoran untuk membangun sebuah Perguruan Taman Siswa.
Maka atas seizin Ki Hadjar Dewantara, dibangunlah Perguruan Taman Siswa, di bawah naungan Majelis Luhur Taman Siswa.
Setelah selesai terbangun, Sarmidi pula yang mengepalai sekolah dan yayasan.
Selama memimpin Taman Siswa di Jakarta, Sarmidi menghasilkan banyak karya tulisan dalam bidang pendidikan.
Salah satunya, "Daftar Pelajaran Mangunsarkoro", yang menjelaskan mengenai cita-cita Taman Siswa sebagai lembaga pendidikan terkemuka di Indonesia.
Dalam bukunya, Sarmidi juga mendorong para murid untuk mempelajari aspek kebudayaan nusantara agar tidak hanya terpaku dengan pendidikan ala Eropa yang banyak diajarkan oleh sekolah Belanda.
Kini ide dan tulisan Sarmidi banyak diterapkan dalam seluruh jenjang pendidikan Taman Siswa dari Taman Kanak-Kanak hingga Perguruan Tinggi.
Ikut Berjasa Membangun UGM : Kampus Pertama Republik Indonesia
Kiprah Sarmidi ternyata tidak hanya berhenti di Taman Siswa saja, namun juga memasuki kursi pemerintahan.
Dimulai saat Jepang tiba ke Indonesia, Sarmidi mendapat tugas untuk menjadi Kepala Bagian Penerangan Djawa Hokokai.
Kemudian dirinya kembali bertugas di bidang edukasi rakyat dengan mengemban jabatan sebagai Kepala Bagian Kebudayaan dan Pendidikan Kantor Pusat Djawa Hokokai.
Jabatan tersebut dilaksanakan hingga Indonesia merdeka, karena pengalamannya mengelola Taman Siswa.
Pasca proklamasi Sarmidi mendapat amanat untuk menjadi sekretaris Komite Nasional Indonesia Pusat yang diketuai oleh Mr Kasman Singodimejo.
Pada masa-masa ini Sarmidi sering bertugas menjadi perwakilan Indonesia dalam berbagai meja diplomasi yang berhadapan dengan Belanda.
Disinilah kemampuan berpolitik Sarmidi yang telah terasah sejak Kongres Sumpah Pemuda menjadi semakin terlihat.
Bahkan pada saat Agresi Militer Belanda II, Sarmidi sempat ditahan di Penjara Wirogunan, Yogyakarta.
Bagi Sarmidi hal itu bukanlah sebuah masalah besar, karena di setiap perjuangan akan selalu membutuhkan pengorbanan.
Hingga puncaknya pada era Kabinet Hatta di tahun 1949, Sarmidi dilantik menjadi Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan.
Pada masa jabatan itu, Sarmidi meresmikan Akademi Seni Rupa (ASRI) dan Universitas Gadjah Mada (UGM) di Yogyakarta.
Selama menjadi menteri, integritas Sarmidi sangatlah kuat dan terjaga.
Terbukti, saat Belanda berusaha mengajak kerjasama dengan lembaga kementeriannya, Sarmidi menolak keras.
Karena merasa dalam kerjasama tersebut ada maksud-maksud terselubung yang patut dihindari.
Anugerah Pahlawan Bagi Sang Pejuang Sumpah Pemuda
Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono memberikan penghargaan Pahlawan Nasional kepada Ki Sarmidi Mangunsarkoro pada 11 November 2011.
Selain Sarmidi ada enam tokoh bangsa lainnya yang ikut diberikan anugerah pahlawan.
Antara lain :
1. Syafruddin Prawiranegara, Tokoh Pejuang dari Jawa Barat.
2. KH Idham Chalid, Tokoh Pejuang dari Kalimantan Selatan.
3. Buya Hamka, Tokoh Pejuang dari Sumatera Barat.
4. I Gusti Ketut Pudja, Tokoh Pejuang Bali.
5. Sri Susuhunan Pakubuwono X, mantan Raja Surakarta.
6. Ignatius Josep Kasimo Hendrowahyono, Tokoh Pejuang asal Yogyakarta.
Walaupun Sarmidi telah meninggal sejak 8 Juni 1957, namun kiprah dan kerja kerasnya masih dapat dirasakan hingga saat ini.
Seperti Perguruan Taman Siswa yang masih berdiri dan memberikan pendidikan hingga kini.
Selain itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga mengemukakan bahwasanya jasa terbesar Sarmidi adalah pada ide dan dasar negara.
Selain pemerintah yang memberi penghargaan berupa Bintang Mahaputra dan gelar pahlawan.
Yayasan Taman Siswa juga memberikan menjadikan Sarmidi sebagai bagian keluarga besar.
Menurut putri Sarmidi, Wiyata Wardani, banyak teladan yang bisa ditiru dari ayahnya.
Salah satunya adalah kebiasaan membaca buku, dimanapun dan kapanpun.
Sehingga dengan bekal ilmu yang mumpuni, kiprah Sarmidi bisa dimana saja dari pendidikan hingga politik.
Si Menteri yang Selalu Bersarung dan Berpeci
Kehidupan Ki Ki Sarmidi Mangunsarkoro, sebagai Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan ternyata tidak mengubah gaya hidup sederhananya
Hal ini diungkapkan oleh sang cucu, Anik R. Yudhastawa Mangunsarkoro bahwasanya sang kakek selalu memakai sarung, peci dan jas.
Anik menjelaskan bahwa maksud kakeknya selalu mengenakan sarung untuk melambangkan nasionalisme dan kerakyatan.
Karena rutinitas Sarmidi tersebut, dirinya mendapat julukan "Mangun Sarungan".
Kata Mangun sendiri diambil dari nama belakangnya, Mangunsarkoro .
Julukan itu didapatkan Sarmidi dari para wartawan parlemen yang menyaksikan dirinya konsisten mengenakan sarung.
Kesederhanaan Sarmidi tidak hanya sebatas pada pakaian yang dikenakan.
Pada saat sidang Konstituante di Bandung, Sarmidi yang telah menjabat sebagai menteri hanya menggunakan mobil pribadi.
Padahal pejabat lainnya yang setara dengan Sarmidi menggunakan pesawat.
Hal itulah yang membuat Anik selalu mengenang kakeknya, karena nilai-nilai yang diajarkan masih membekas hingga kini.
Kenangan itu tetap membekas walaupun Sarmidi telah wafat pada 8 Juni 1957.
Disaat usianya 53 tahun dan dimakamkan di makam Keluarga Besar Tamansiswa, Taman Wijaya Brata , Celeban, Yogyakarta. (*)