Tetangga Bersengketa Tanah
Dibalik Kisah Perdamaian 2 Tetangga di Sragen Rebutan Tanah Selebar 33 CM, Ada Peran Formas Sragen
"Saya menerima laporan dari keluarga Bu Suparmi sekitar dua minggu yang lalu," tutur anggota Formas Sragen
Penulis: Rahmat Jiwandono | Editor: Ryantono Puji Santoso
"Awalnya anak saya sakit, butuh biaya operasi, sehingga saya menjual tanah itu," katanya saat ditemui TribunSolo.com pada Kamis (16/7/2020).
"Saat disertifikatkan, ternyata sisa luas tanah dan yang ada di sertifikat berbeda," imbuhnya.
Suparmi yang kekeuh dengan sisa luas tanah yang ia miliki, lalu membangun sebuah tembok sekira di tahun 2000an awal.
Masalahnya, tembok yang dia bangun melewati ukuran yang digariskan oleh kelurahan.
"Saya yakin karena saya hafal dan ingat luas tanah saya sebelum saya jual," tegasnya.
Ia pun memprotes ketidakadilan itu pada kelurahan sejak tahun 2016.
Ia bahkan meminta pihak kelurahan melakukan pengukuran tanah ulang.
"Saya membayar Rp 400 ribu tapi hasilnya sama, saya masih tidak terima karena saya yakin itu ada sisa lebar 33 cm," terangnya.
Beberapa perundingan pun dilakukan oleh kedua belah pihak pada tahun 2016 tersebut.
"Dulu ada perjanjian dengan kepala desa juga, tapi hasilnya tetap nihil, sisa tanah saya tidak kembali," pungkasnya.
Lantaran tak terima, ia pun membawa ke ranah Dinas Agraria Kabupaten Sragen.
Tak hanya itu, ia pun membawa pengacara agar sengka tersebut lekas menemui titik temu.
Hubungan dua tetangga ini pun memburuk.
Dari semula kehidupan bertetangga yang normal dan baik-baik saja, menjadi tak saling bertegur sapa.
Bahkan, pada akhir 2018, Suprapto, tetangga sebelah Suparmi, dilaporkan merusak tembok pembatas rumah yang dibangun Suparmi di sisa tanah selebar 33 cm itu.