Klaten Bersinar
Selamat Datang di Klaten Bersinar

Insiden di Kedung Ombo Boyolali

Tak Banyak yang Tahu, Mitos Sabtu Bagi Warga di Kedung Ombo : Muncul Angin Kencang & Ombak Tiba-tiba

Sebanyak 9 orang wisatawan tewas karena perahu terbalik di Waduk Kedung Ombo.

Penulis: Adi Surya Samodra | Editor: Asep Abdullah Rowi
TribunSolo.com/Istimewa
Kolose foto udara dan tim gabungan evakuasi di antaranya Basarnas membawa kantong berisi korban tenggelam di Waduk Kedung Ombo di Dukuh Bulu, Desa Wonoharjo, Kecamatan Kemusu, Kabupaten Boyolali, selama pencarian Sabtu-Senin (15-17/5/2021). 

"Sudah diberitahu, bahwa hari Sabtu ini harus hati - hati," ucap dia.

Kisah Kelam Waduk

Adapun kejadian mengerikan 9 orang tewas tenggelam di Waduk Kedung Ombo membuka kembali memoar perjalanan pembangunannya.

Waduk buatan era Presiden Soeharto itu, berada di wilayah Kabupaten Boyolali, Sragen dan Grobogan.

Hal itu dikisahkan oleh salah seorang Aktivis Komite Solidaritas Waduk Kedung Ombo, Wahyu Susilo kepada TribunSolo.com.

Dirinya menceritakan, banyak hal janggal saat proses pembebasan lahan saat itu mulai tahun 1985 silam.

"Banyak masyarakat yang menentang, karena luas waduk itu sendiri menelan 37 desa di tiga kabupaten yaitu, Sragen, Boyolali, dan Grobogan," katanya kepada Senin (17/5/2021).

Baca juga: Lengkap 9 Korban Perahu Terbalik Ditemukan, Operasi Pencarian di Waduk Kedung Ombo Resmi Ditutup

Baca juga: Asal Usul Warung Apung di Kedung Ombo : Ternyata Diincar Wisatawan, Ingin Sensasi Makan di Atas Air

"Hanya demi menghabiskan dana bantuan dari Bank Dunia," terangnya menekankan.

Ya, menurut dia, Bank Dunia mengucurkan anggaran hingga 156 juta US dolar untuk membangun waduk seluas 5.898 hektar tersebut.

Maka banyak lahan yang harus ditenggelamkan demi sebuah waduk tersebut.

"Terutama lahan yang digusur itu sebagian besar merupakan sawah milik warga, sehingga mereka mau makan apa saat itu?," ungkapnya.

Tragisnya menurut dia, para penentang kebijakan Waduk Kedung Ombo tidak hanya diperkarakan secara hukum, namun juga difitnah dan diberi label sebagai anggota Partai Komunis Indonesia (PKI).

Maklum saat itu ada yang menentang karena dinilai tidak ada komunikasi dengan baik dengan masyarakat sekitar.

"Di KTP mereka diberi label stampel ET (eks Tapol) yang membuat mereka kehilangan hak perdata  di masyarakat," ujarnya.

Wahyu menjelaskan mereka telah berusaha menempuh secara jalur pengadilan hingga tingkat Mahkamah Agung, namun semuanya berujung pada kesia-siaan belaka.

Sumber: TribunSolo.com
Halaman 2 dari 4
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved