Klaten Bersinar
Selamat Datang di Klaten Bersinar

Berita Sragen Terbaru

Menilik Akhir Kisah Hidup Joko Tingkir, Raja Pajang Pertama dan Terlama, Dimakamkan di Plupuh Sragen

Joko Tingkir terlahir dengan nama Raden Mas Karebet, yang kemudian diberi gelar Sultan Hadiwijaya saat menjadi Raja Pajang pertama.

Penulis: Septiana Ayu Lestari | Editor: Asep Abdullah Rowi
TribunSolo.com/Septiana Ayu
Pemakaman Kiai Ageng Butuh (Raja Pengging II) dan anaknya Raden Joko Tingkir (Sultan Hadiwijaya) Raja Pajang pertama, di Dukuh Butuh, Desa Gedongan, Kecamatan Plupuh, Kabupaten Sragen. 

Laporan Wartawan TribunSolo.com, Septiana Ayu Lestari

TRIBUNSOLO.COM, SRAGEN - Siapa yang tidak kenal dengan nama besar tokoh Jaka Tingkir atau biasa dikenal dengan Joko Tingkir.

Sosok yang terkenal kharismanya di tanah Jawa, merupakan raja pertama Kesultanan Panjang yang berdiri di perbatasan Surakarta dan Sukoharjo.

Joko Tingkir terlahir dengan nama Raden Mas Karebet, yang kemudian diberi gelar Sultan Hadiwijaya saat menjadi Raja Pajang pertama.

Ia merupakan anak dari Kiai Ageng Kebo Kenongo, Adipati Pengging II di Boyolali, dengan ibunya adalah Roro Alit Putri dari Sunan Lawu, putra Brawijaya V dari Majapahit.

Pintu masuk pemakaman Kiai Ageng Butuh (Raja Pengging II) dan anaknya Raden Joko Tingkir (Sultan Hadiwijaya) Raja Pajang pertama, di Dukuh Butuh, Desa Gedongan, Kecamatan Plupuh, Kabupaten Sragen.
Pintu masuk pemakaman Kiai Ageng Butuh (Raja Pengging II) dan anaknya Raden Joko Tingkir (Sultan Hadiwijaya) Raja Pajang pertama, di Dukuh Butuh, Desa Gedongan, Kecamatan Plupuh, Kabupaten Sragen. (TribunSolo.com/Septiana Ayu)

Dari sejarah yang didapatkan TribunSolo.com, Joko Tingkir memimpin Kerajaan Pajang selama 40 tahun, antara tahun 1546 hingga 1587.

Kemudian, dia memutuskan untuk kembali ke tempat kedua orangtuanya yang ada di Dukuh Butuh, Desa Gedongan, Kecamatan Plupuh pada masa sepuhnya.

Hingga meninggal dunia, Joko Tingkir dimakamkan bersama dengan kedua orangtua dan anaknya, di kompleks pemakaman Makam Butuh Sultan Hadiwijaya.

Lokasi Makam Butuh berada di Dukuh Butuh, Desa Gedongan, Kecamatan Plupuh, Kabupaten Sragen, yang tak jauh dari Sungai Bengawan Solo.

Juru kunci Makam Butuh, Muhammad Aziz menjelaskan sosok Raden Joko Tingkir sewaktu muda merupakan seorang pendekar yang gagah berani.

Baca juga: Kepercayaan Warga Giriwoyo Wonogiri Jadi Langganan Banjir : Hanya Luweng yang Bisa Bikin Air Surut

Baca juga: Di Desa Krakitan Klaten, Ada Makam Ajudan Presiden Soekarno: Namanya Letnan Dua Dukut

Karebet kecil dititipkan kepada Kiai Ageng Tingkir untuk diasuh dan mendapat bimbingan.

Kemudian, Karebet diberi nama Joko Tingkir (Joko dari daerah Tingkir) untuk menyembunyikan identitasnya, yang merupakan anak dari Raja Pengging.

"Mudanya Raden Joko Tingkir disuruh mengabdi menjadi prajurit ke Keraton Demak, yang dipimpin oleh Raden Mas Trenggono," katanya kepada TribunSolo.com, Jumat (12/11/2021).

Joko Tingkir Sosok Tampan

Selain memiliki catatan prestasi yang mumpuni sebagai prajurit, Raden Joko Tingkir juga terkenal oleh sosok yang tampan.

Kemudian, terjadi saling ketertarikan antara Raden Joko Tingkir dengan putri Sultan Trenggono, Ratu Mas Cempaka.

Mengetahui hubungan keduanya, pihak Kerajaan tidak menyetujui, dan kemudian Raden Joko Tingkir mendapatkan fitnah.

"Untuk menghindari konflik, kemudian Raden Joko Tingkir memutuskan untuk kembali Pengging dan kesini (Dukuh Butuh), dan mendapat bimbingan kepada Kiai Ageng Kanigoro," jelasnya.

Raden Joko Tingkir dibekali tata bela diri, Ketuhanan, dan tata kelola pemerintahan.

Setelah digembleng dan ilmunya dikira cukup, Kiai Ageng Kanigoro memerintahkan Raden Joko Tingkir kembali ke Demak.

Dari Sukoharjo, Raden Joko Tingkir menaiki getek menyusuri Bengawan Solo menuju ke Demak.

Disaat bersamaan, Keraton Demak mengalami kekacauan akibat seekor kerbau yang mengamuk.

Joko Tingkir pun kembali dipanggil dan dengan kesaktiannya  mampu menjinakkan kerbau dengan satu kali tamparan.

Karena keberhasilan itu, Raden Joko Tingkir dijadikan menantu oleh Sultan Trenggono dan diberi hadiah tanah di Pajang, dengan gelar Adipati Adiwijaya," terangnya.

"Setelah Sultan Trenggono wafat, Raja Demak sudah tidak ada lagi, sebagai penerus, Adipati Adiwijaya mengembangkan hingga daerah selatan, maka kadipaten Pajang diperluas menjadi Kesultanan," tambahnya.

Aziz menceritakan jika saat menjabat sebagai sultan, selama 40 tahun tidak terjadi perebutan kekuasaan maupun peperangan.

Baca juga: Cerita Aneh di Situs Watugenuk Boyolali : Dengan Suara Gamelan, Tapi Tak Ada yang Bisa Melihatnya

Baca juga: Aneh, Batu di Masaran Sragen Tak Bisa Dipindahkan: Sejarahnya Terkait Pangeran Mangkubumi

"Yang dipegang adalah prinsip keadilan, waktu ia menjabat, tidak ada pertengkaran atau perebutan kekuasaan, yang menjadi bukti semua rakyatnya mendapatkan keadilan," ungkapnya.

Pada tahun 1587, kekuasaan Raden Joko Tingkir diteruskan kepada anaknya, Pangeran Benowo I, yang Sultan Prabuwijaya Pajang II.

Setelah melepas tahtanya, kemudian Raden Joko Tingkir mengikuti jejak orang tuanya untuk menjadi penduduk biasa di Dukuh Butuh, Plupuh.

"Masa tuanya, dijadikan sebagai tetua di daerah sini (Dukuh Butuh) menjadi percontohan cara beribadah yang baik," jelasnya.

Makam Raden Joko Tingkir masih dirawat hingga kini, dan pada masa pemerintahan Pakubuwono X, Makam Butuh diperbaiki.

Petinggi Keraton Solo dan masyarakat biasa sering datang untuk berziarah. (*)

Sumber: TribunSolo.com
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved