Klaten Bersinar
Selamat Datang di Klaten Bersinar

Tak Sirna Dihantam Pandemi, Petani Kopi di Lereng Sindoro-Sumbing Sumringah Kumpulkan Pundi-pundi

Desa Muncer di lereng Gunung Sindoro-Sumbing kini kian berubah dengan tanaman kopinya. Bahkan produksinya dibawa ke Belanda untuk penjajakan eskpor.

Penulis: Asep Abdullah Rowi | Editor: Eka Fitriani
TribunSolo.com/Asep Abdullah
Hamparan tanaman kopi di Desa Muncar, Kecamatan Gemawang, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah (Jateng). Panen raya secara serentak biasanya memasuki Juni-Juli. 

Sebenarnya, pria yang kini jadi pengurus Kelompok Tani Amrih Mulyo Muncar itu punya cerita tak menyenangkan sebelum menekuni kopi.

Dulu kata dia, banyak teman-temannya dari luar daerah yang menganggap sebelah mata dan mencibir desanya karena jauh dari peradapan kota.

“Mau ke desa kami kan melewati jalanan mirip hutan, banyak yang meremehkan oh ndeso, tapi kalau saat ini ketik Google akan tahu siapa itu Muncar,” tutur dia.

Belum lagi dia mengaku, saat itu orangtu tak memiliki modal untuk mengembangkan tanaman kopi seperti sebagian warga lainnya, sehingga harus mencari uang ke kota.

Gadis pendamping DSA Temanggung tengah menjemur kopi hasil panenan petani.
Gadis pendamping DSA Temanggung tengah menjemur kopi hasil panenan petani. (TribunSolo.com/Asep Abdullah)

Apalagi banyak di antaranya dikenal menjadi pencari kayu gelondongan untuk memasak.

Hal itu yang kemudian memantik dirinya untuk merantau ke Ibu Kota Jakarta usai lulus dari Sekolah Menengah Pertama (SMP).

“Kalau orang yang tak punya, anaknya merantau, gajinya dibawa pulang untuk beli pupuk,” ungkap dia mengenang perjalanannya.

“Akhirnya memutuskan pulang ke desa dan seriusin tanam kopi,” aku dia membeberkan.

Dari itulah jalan hidupnya diubah, sehingga ada titik balik yang membuatnya tak malu kembali ke desa dan menekuni kopi yang sudah berjalan beberapa tahun ini.

Baca juga: Biodata Soni Suharyono, Direktur Kedai Kopi Cold N Brew Solo: Sukses Buka 6 Cabang Baru

Baca juga: Serunya Nobar MotoGP Astra Honda di Solo : Kompak Dukung Racer Indonesia Mario Surya Aji di Moto3

Maklum jauh sebelum itu ada stigma meremehkan soal profesi petani kopi di desanya karena menjadi petani hanya sebatas sampingan dan tak menjanjikan.

“Memang untuk menuju panen (dapat uang banyak) dari awal menanam hingga panen harus sakit-sakit dahulu, karena kopi bisa dipanen 5 tahun kemudian,” aku dia.

“Tapi kan investasi sampai puluhan tahun, kalau saat ini kehidupan jauh lebih baik, daripada ikut orang di kota, di desa bisa menghasilkan lebih kok,” jelasnya.

Bahkan kini dia tak perlu pusing, sudah ada mesin roasting dan berbagai alat lain yang harganya tak murah karena hasil bantuan Astra.

Mesin-mesin itu ditempatkan di worksop kelompok tani yang tersebar di sejumlah rumah.

“Kalau panen tinggal petik, jemur dan di-roasting (giling), kemudian kita olah jadi kopi aneka macam yang harganya lebih tinggi dibandingkan biasanya,” aku dia.

Sumber: TribunSolo.com
Halaman 2 dari 4
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved