Tak Sirna Dihantam Pandemi, Petani Kopi di Lereng Sindoro-Sumbing Sumringah Kumpulkan Pundi-pundi
Desa Muncer di lereng Gunung Sindoro-Sumbing kini kian berubah dengan tanaman kopinya. Bahkan produksinya dibawa ke Belanda untuk penjajakan eskpor.
Penulis: Asep Abdullah Rowi | Editor: Eka Fitriani
“Kalau biasanya Rp 26 ribu per kg dijual ke tengkulak, biasa jauh lebih jika diolah siap seduh, ada pasar online juga kita kemas kekinian,” terangnya.
Dia juga menaruh besar dengan menekuni tanaman kopi, mengingat bertahun-tahun ini coffe shop terus bertumbuh di mana-mana, sehingga dia meyakini kopi akan lestari.
"Kopi tak ada habisnya, kalau kemarin kita kena pandemi, saat ini kita berbenah. Pandemi saja warung kopi tumbuh di mana-mana, jadi semangat kami," jelas dia.
Hal senada juga dialami petani kopi lainnya, Sutrisno (49).
Pria yang juga Ketua Kelompok Tani Amrih Mulyo Muncar itu bahkan mengawali usaha tanaman kopi dari nol.
Meskipun sebelumnya sudah mentereng dengan gaji Rp 5 juta lebih di sebuah perusahaan, dia banting stir menjadi petani kopi di desa tempat dia dilahirkan.
Selain karena terpanggil agar kopi bisa lestari dengan anak-anak muda masuk di dalamnya, juga berharap bisa berdikari dan jadi ‘bos’ sendiri di desanya.
“Siapa sih yang berpikiran orang ngopi di cafe, eh kopinya banyak dari petani Muncar, nah ini yang kemudian saya terdorong menekuni jadi petani sajalah,” aku dia.
“Alhamdulillah hasilnya saat ini bisa lebih dari kita jadi pegawai ikut orang,” tuturnya.
Terlebih setelah Astra dengan program DSA-nya masuk 2018 hingga kini 2021, membawa harapan bagi petani untuk semakin sejahtara menjadi nyata.
Meskipun sempat ada yang menyangsikan, tetapi ternyata bantuan pembinaan secara materiil dan pendampingan sumber daya manusia (SDM) terbukti ampuh.
Mulai dari penataan SDM, menghasilkan kopi terbaik yang bisa masuk ke pasar ekspor, mesin kopi yang tak murah hingga pembangunan infrastruktur untuk wisata.

“Petani kan masalah akhir pemasaran, sini sentranya kopi jadi yang diperlukan output yang menguntungkan petani dengan harga di atas rata-rata,” ungkapnya.
“Mengingat dulu petani-petani hanya asal tanam yang penting laku, padahal kualitas bisa ditingkatkan dan banyak turunannya sehingga bisa ada nilai tambah,” tutur dia.
Nah inilah yang kemudian dibina oleh Astra selama beberapa tahun dan menghasilkan output yang diharapkan oleh para petani.