Berita Sragen Terbaru
Kabar Gembira, Pemkab Sragen Siapkan 10 Ribu Hektar Sawah IP400, Petani Bisa Panen 4 Kali Setahun
Pemerintah Kabupaten Sragen menyiapkan lahan sawah seluas 10 ribu hektar untuk program penanaman padi Indeks Pertanian (IP) 400.
Penulis: Septiana Ayu Lestari | Editor: Asep Abdullah Rowi
"Yang pertama menjaga sanitasi, rumput-rumput di sekitar sawah dibersihkan, menjaga sawah agar tetap bersih, termasuk juga airnya," katanya kepada TribunSolo.com, Sabtu (5/2/2022).
Suwandi ikut dalam kunjungan kerja Komisi IV DPR RI di Balai Desa Jambanan, Kecamatan Sidoharjo, Kabupaten Sragen.
Tips kedua menurut Suwandi adalah dengan menanam padi secara serentak.
Pengendalian hama tikus yang dinilai efektif adalah dengan budidaya burung hantu.
Diperkirakan burung hantu bisa mematikan 6-9 ekor tikus setiap malamnya.
Lanjut Suwandi, cara budidaya burung hantu ternyata cukup mudah.
Baca juga: Dedi Mulyadi Sindir Pejabat & Disambut Tepuk Tangan Petani di Sragen : Giliran Panen Berhasil Datang
Baca juga: Baru Lagi, Deklarasi Ganjar Pranowo-Puan Maharani untuk Pilpres 2024, Muncul dari Arek-arek Suroboyo
"Kalau antar petani biasanya harga burung hantu lebih murah, biaya memelihara 3 bulan bisa diganti Rp 100.000 hingga Rp 200.000 per ekornya," terangnya.
"Burung hantu itu hebatnya bisa bertelur hingga sembilan butir, tinggal sediakan rumahnya, nanti diisi sama anak-anaknya," tambahnya.
Cara mengusir hama tikus yang lebih mudah yakni dengan menanam tanaman yang tidak disukai oleh tikus.
"Ada tanaman yang tidak disukai oleh tikus, seperti serai, bawang putih, tomat, dan lainnya, ditanam di pematang sawah nanti bisa untuk mengusir tikus," jelasnya.
Disorot Dedi Mulyadi
Salah satu petani, Sadimin mengatakan pemasangan jebakan tikus sendiri bagi petani sebenarnya meresahkan.

"Jebakan listrik bagi petani sebenarnya meresahkan, karena taruhannya nyawa," katanya kepada TribunSolo.com, Sabtu (5/2/2022).
Lanjutnya, sebenarnya dalam menanggulangi hama tikus, cara yang lebih efektif dengan cara gropyokan.
Kendalanya hanya satu, yakni susahnya mengumpulkan petani yang mau untuk melakukan gropyokan.