Klaten Bersinar
Selamat Datang di Klaten Bersinar

Menurut Pengamat, Ini Dampak Jika Harga Pertamax Naik : Pertalite Bisa Langka Seperti Minyak Goreng

Pengamat Ekonomi dari Universitas Airlangga Rahma Gafmi pun menyampaikan pandangannya terkait wacana kenaikan harga BBM ini.

Penulis: Tribun Network | Editor: Hanang Yuwono
TRIBUN JABAR/GANI KURNIAWAN
Ilustrasi - Petugas melakukan pengisian bahan bakar minyak (BBM) pertalite ke sepeda motor di SPBU 3440236, Jalan Laswi, Kota Bandung. 

TRIBUNSOLO.COM, JAKARTA - Belakangan menucuat isu kenaikan harga BBM nonsubsidi, Pertamax.

Wacana kenaikan harga Pertamax ini terjadi di tengah honjakan harga minyak dunia.

Hal itu ditengarai berdampak signifikan bagi kondisi perekonomian nasional, termasuk naiknya harga BBM nonsubsidi seperti Pertamax.

Pengamat Ekonomi dari Universitas Airlangga Rahma Gafmi pun menyampaikan pandangannya terkait wacana kenaikan harga BBM ini.

Menurutnya, pemerintah sudah menetapkan harga minyak dalam asumsi makro APBN 2022 sebesar 63 dolar AS per barel dalam APBN.

Baca juga: Pertamina Janji Harga Pertamax Tetap di Bawah SPBU Swasta Jika Naik, Cek Perbandingannya saat Ini

Baca juga: Siap-siap Lur, DPR Sudah Setuju Harga BBM Jenis Pertamax Naik Rp16 Ribu per Liter

"Tentu ini harus ada revisi mengenai Anggaran Belanja Negara supaya bisa mengkalkulasi kecukupan APBN dengan kondisi yang semakin tidak ada kepastian, kapan berakhir perang Rusia dengan Ukraina," ujar Rahma saat dihubungi, Kamis (31/3/2022).

Diberitakan sebelumnya, pemerintah menetapkan bahan bakar oktan 90 atau BBM Pertalite sebagai jenis BBM khusus penugasan (JBKP) menggantikan BBM Premium. Pemerintah juga memutuskan untuk menaikkan harga BBM Pertamax.

"Isu kenaikan harga Pertamax dan tetap disubsidinya harga Pertalite akan menyebabkan peralihan penggunaan BBM oleh masyarakat yang sebelumnya menggunakan Pertamax akan beralih ke Pertalite," tutur Rahma.

Rahma menyebut BBM merupakan kebutuhan yang vital bagi masyarakat berkaitan dengan mobilitas mereka untuk bekerja dan bepergian.

"Jika kenaikan harga Pertamax menjadi sekitar Rp 16.000 per liter tentunya akan memicu penurunan demand Pertamax dan peningkatan demand Pertalite sebagai substitusi," kata Rahma.

Ia menilai, masyarakat yang mampu tidak seharusnya mendapatkan subsidi Pertalite.

Pada akhirnya kebijakan kenaikan harga Pertamax malah justru merugikan negara karena penyuntikan subsidi ke Pertalite sangat membebani APBN.

"Melihat kondisi masyarakat kita yang kebanyakan adalah statusnya menengah, dapat dipastikan hal tersebut di atas akan terjadi penurunan daya beli di masyarakat," tutur Rahma.

Ia mengkhawatirkan kasusnya akan seperti minyak goreng, di mana demand Pertalite yang meningkat, meningkatkan suntikan subsidi, dan berdampak pada kelangkaan. (*)

Sumber: Tribunnews.com
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved