Berita Sragen Terbaru
Bukan Dioplos, Sragen Punya Racikan Teh Khas yang Melekat di Lidah : Rasa Sepet dan Warnanya Merah
Tak hanya di Kota Solo, Kabupaten Sragen juga mempunyai citarasa teh yang khas.
Penulis: Septiana Ayu Lestari | Editor: Asep Abdullah Rowi
Laporan Wartawan TribunSolo.com, Septiana Ayu Lestari
TRIBUNSOLO.COM, SRAGEN - Tak hanya di Kota Solo, Kabupaten Sragen juga mempunyai citarasa teh yang khas.
Seperti yang diketahui, Kota Solo terkenal dengan teh oplosannya yang sangat digemari oleh para wisatawan yang datang ke kota berjuluk Bengawan itu.
Tak kalah dengan Kota Solo, Sragen juga mempunyai citarasa teh yang membuat lidah tak mudah untuk melupakan rasanya alias sangat melekat di lidah.
Ahli Peracik Teh dan juga merupakan Master Teh Sragen, Heru Purwanto mengatakan meski Sragen tidak memiliki perkebunan teh, bukan berarti tidak bisa memiliki teh khas sendiri.
"Teh yang dimaksud adalah teh menurut karakter demografi masyarakat, jadi bukan teh menurut teh perkebunan, teh boleh ada di kebun, tapi penikmatnya itu berlatar demografi," ujarnya kepada TribunSolo.com, Jumat (13/5/2022).
Ia mencontohkan teh di Yogyakarta memiliki ciri khas yang wangi, tidak bewarna pekat atau bening.
"Di Sragen itu mengutamakan rasa sepet, wangi, mantep, tapi warnanya harus merah," kata Heru menjelaskan ciri khas teh Sragen.
Menurutnya, teh khas Sragen bukan teh oplosan dari berbagai merk produk seperti halnya di Kota Solo.
Dalam meracik teh harus memperhatikan teknik kalibrasi, yang membuat teh memiliki banyak varian rasa dan aroma.
"Ada yang namanya kalibrasi, jadi dalam ilmu kalibrasi teh ada yang harus dipisahkan antara peko, jikeng, kempri itu presentase berbeda-beda setelah dikalibrasi, yang menghasilkan yang namanya cacui," jelasnya.
Baca juga: Perjalanan Teh Jadi Minuman Idola, Master Teh Sragen : Padahal Dulu Pohonnya Jadi Tanaman di Pot
Baca juga: Kerap Bikin Bingung Orang Jogja & Solo, Ternyata Ini Perbedaan HIK dan Angkringan Serta Asal Usulnya
Cacui itulah yang menjadi penting, karena meskipun teh berasal dari merk yang sama, rasanya akan berbeda-beda.
"Pemegang cacui semenjak zaman Belanda sampai hari ini tidak boleh dibuka untuk umum, karena cacui adalah warisan," jelasnya.
Cara membuat cacui menurut Heru tak memakan waktu yang lama, ia yang sudah meneliti teh selama dua puluh tahun itu hanya membutuhkan waktu satu hari.
Proses pembuatan cancui tinggal menyesuaikan daun teh berasal dari jenis teh yang mana.
Di Indonesia sendiri terdapat 7 jenis pohon teh, yang meliputi jenis Clone Rusia, Cambodia, TRI 24, TRI 25, Asamika, Gambung Sari 1-14, Teh China dan Teh Lokal Pasir Sarongge.
"Misalnya teh jenis Asamika itu cepat merah, kalau teh Sri Lanka (TRI 24/25) itu menghasilkan jikeng dengan rasa sepet pekat, China ada sensasi sedikit rasa pahit, kemudian dia bisa ada nilai kesehatan," terangnya.
Heru pun diminta oleh Bupati Sragen untuk membuat racikan produk teh khas Sragen.
"Jadi nanti bukan dioplos, kurang sepet pekonya ditambah, kurang mantep jipengnya ditambahi, kurang merah kempringnya ditambah, kurang wangi melatinya disetel lagi," jelasnya.
"Menyesuaikan dengan lidah orang Sragen, nanti kalau sudah minum teh racikan, minum teh yang lain nggak bisa, karena bagian perasa lidah belakang kita akan teringat, jadi meski minum di Solo, akan ingat kalau itu teh Sragen," pungkasnya.
Perjalanan Teh
Bagi sebagian orang, ketika makan tak lengkap rasanya jika minumnya bukan teh hangat atau es teh.
Seolah sudah mendarah daging, apapun makanannya minumnya pasti teh.
Sebelum kita mengenal teh menjadi minuman, ternyata ada sejarah panjang yang menyertainya.
Baik itu teh rasanya manis, pahit, wangi dan kombinasi.
Diceritakan ahli peracik teh atau master teh asal Sragen, Heru Purwanto, jika keberadaan teh di Indonesia sendiri sudah ada sebelum masa penjajahan Belanda.
"Cuma baru dikembangkan di Belanda tahun 1886, kalau di Indonesia baru dikembangkan tahun 1928, teh baru dikebunkan," kata Heru saat ditemui wartawan dalam acara Greatea, Jumat (13/5/2022).
Menurut Heru, Indonesia memiliki teh lokal yang diperkirakan sudah ada sebelum masuknya penjajah Belanda yakni jenis Pasir Sarongge.
Dulu, keberadaan pohon teh tak langsung diolah menjadi produk minuman.
Melainkan, pohon teh sempat dijadikan sebagai oleh-oleh yang diletakkan dalam pot.
Setelah Pemerintah Belanda mengembangkan olahan teh, sejak itulah berbagai jenis pohon teh mulai masuk ke Indonesia.
"Setelah dijajah, baru pada tahun 1886, baru masuk teh dari Cina, dari mana-mana mulai ditanam di perkebunan Indonesia," jelasnya.
Baca juga: Info Harga Kebutuhan Dapur Jelang Lebaran di Sragen : Harga Migor Belum Turun, Teh-Gandum Meroket
Baca juga: Sembunyi di Sudut Desa, Es Gosrok Mbah Sholah Jadi Jajanan Legendaris Wong Bayat Klaten Sejak 1950
Cita rasa dan aroma teh pun juga kemudian ikut berkembang, yang dimulai dari daratan China.
Karena saat itu, hasil perkebunan bagian pucuk daun teh diambil dan dikirim ke Belanda hingga Jepang.
"Karena pucuknya waktu itu diambil ke Belanda, dibawa ke Belanda, Jepang, akhirnya orang Tionghoa kebanyakan meracik teh memakai daun tua dan ranting, ditambah pewangi dari bunga, sejarah awalnya seperti itu," jelasnya.
Di Indonesia sendiri karena teh sangat diminati, varian teh pun terus berkembang.
Ratusan produk teh telah diproduksi, dengan cita rasa yang berbeda-beda.
Bahkan, kini di setiap daerah memiliki ciri khas citarasa teh masing-masing yang disesuaikan dengan lidah warga lokal masing-masing.
Para pengusaha muda pun juga mulai mengembangkan produk teh, yang dipadukan dengan berbagai varian rasa, seperti susu hingga rasa buah.
"Di anak muda sekarang diferensiasi teh sudah mulai diadakan, teh diolah menjadi teh susu, teh buah dan sebagainya," jelas dia.
"Ya karena memang teh itu minuman nomor dua serelah air mineral, apapun bentuk makanan, teh akan tetap terus menemani," ujar Heru. (*)