Berita Terbaru Boyolali

Mengenal Tari Jangkrik Ngentir dari Lereng Merapi-Merbabu di Boyolali, Penuh Nuansa Mistis

Selain sebagai media hiburan masyarakat, tari sakral ini juga syarat akan hal -hal mistis diluar akal manusia.

Penulis: Tri Widodo | Editor: Rifatun Nadhiroh
TRIBUNSOLO.COM
Penampilan Tari Jangkrik Ngentir di Lereng Merapi-Merbabu 

Laporan Wartawan TribunSolo.com, Tri Widodo 

TRIBUNSOLO.COM, BOYOLALI - Tarian khas lereng gunung Merapi Merbabu ini bukanlah sembarang tari.

Selain sebagai media hiburan masyarakat, tari sakral ini juga syarat akan hal -hal mistis diluar akal manusia.

Namanya Tari Jangkrik Ngentir.

Kelompok kesenian Sri Budi Utomo, di Dukuh Sidotopo, Desa Cabean Kunti, Kecamatan Cepogo yang masih melestarikan tarian tradisional ini.

Ada 8 orang penari, terdiri pentul tembem, dua penari sebagai lembu atau sapi dan 4 penari jaran kepang atau juga disebut jangkrikan.

Baca juga: Lezatnya Kare Daging Sapi Bu Riyanti di Ampel Boyolali, Warung Makan Legendaris Ada Sejak Tahun 1962

Alunan bende dan kendang mengiringi pertunjukan tarian yang dialami dengan kemunculan Pentul dan Tembem. 

Lalu, menggembala sapi. Kemudian Pentul dan Tembem berdialog tentang kedatangan sekelompok orang dan kemudian dijemputnya.

Kemudian keluarlah 4 penari jaran kembang yang dikisahkan sebagai sekelompok orang yang mencari sejating urip tersebut.

“Iya, ini termasuk tarian sakral. Untuk gerakannya ada pakemnya. Ini khas dari lereng Gunung Merapi-Merbabu,"

"Tapi setiap daerah mungkin versinya beda-beda, dengan kearifan lokal,” ungkap sesepuh kelompok Seni Sri Budi Utomo, Slamet Seno, Selasa (31/5/2022)

Baca juga: Menilik Sejarah Bekas RS Kadipolo Solo : Dibangun Era PB X, Dikelola Dokter Asli Pribumi dr Rajiman

Tarian jangkrik ngentir, sudah dibawakan oleh kelompok kesenian Sri Budi Utomo Dukuh Sidotopo, Desa Caben Kunti sejak sebelum tahun 1980 silam biasanya ditampilkan saat acara-acara tradisi sakral, seperti ruwatan, menempati rumah baru dan acara tradisi lainnya.

Bahkan pernah, tarian ini digunakan sebagai media mencari kuburan bayi yang tak terawat dan mengganggu penghuninya.

"Pernah rumah itu kok ada yang kurang srek. Kemudian mengundang kami,"

"Dan ternyata di perkarangan rumah tersebut terdapat makam bayi yang tidak terawat,"

"Lalu kami mendapatkan wangsit mengenai titik lokasi keberadaan makam tersebut," jelasnya.

Wangsit tersebut kemudian disampaikan kepada pemilik rumah.

Setelah dilakukan perawatan kondisi rumah tersebut menjadi adem ayem, tidak ada gangguan lagi.

Baca juga: Biodata Aiptu Agus Andriano, Kanit K-9 Sat Samapta Polres Karanganyar: Pernah Tugas di Timor Timur

Selain itu, hal mistis lainnya berkaitan dengan Jaran Kepang yang dipakai penari.

Anyaman bambu yang dibentuk menyerupai hewan kuda itu juga ada penghuni ghaibnya.

Jarang Kepang yang dipakai penari  itupun tak bisa sembarang.

"Jaran kepangnya ya itu terus. Kalau mau mau mengganti (properti jaran kepang) harus dilakukan ritual-ritual tertentu,"

"Dan jaran kepang yang lama kemudian dimakamkan," ungkapnya. 

Kesakralan tarian ini pun menjadikan kelompok tari ini masih terus melestarikannya.

Sebab, tarian ini juga memiliki makna filosofis yang dalam bagi kehidupan manusia.

Tarian jangkrik ngentir ini berkisah tentang perjalanan peradaban manusia dalam mencari kehidupan sejati.

Saat itu  peradaban manusia yang belum mengenal tuhan menjadikan masyarakat hidup bebas tanpa aturan.

Baca juga: Angelina Sondakh Sudah 13 Tahun Menjanda Sejak Adjie Massaid Wafat, Mengaku Kini Didekati 2 Pria

“Seiring perjalanan waktu, mereka ingin mencari jati diri atau Tuhan. Istilahnya yang namanya orang hidup, pingin ngerti sejatine urip,” jelasnya.

Dalam perjalanannya mencari petunjuk atau wangsit, caranya pun bermacam-macam.

Seperti memuja pohon besar, gunung, matahari dan ada pula yang melalui jejogetan atau tarian hingga puncaknya pikirannya kosong dan kerasukan roh leluhur atau istilahnya payah.

“Dalam keadaan payah munculah petunjuk-petunjuk atau wangsit yang sangat bermanfaat bagi orang Kanung itu, Orang Kanung itu orang pada waktu belum mengenal peradaban maupun agama,” kata  imbuhnya. (*)

Sumber: TribunSolo.com
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved