Disambangi Delegasi G20, Kini Asa Perajin di Kampung Gitar Ngrombo Sukoharjo Kembali Bersinar
Desa Ngrombo di Sukoharjo menjadi daerah mandiri, karena warganya menggantungkan hidupnya dari gitar yang sudah ada sejak puluhan tahun.
Penulis: Asep Abdullah Rowi | Editor: Naufal Hanif Putra Aji
Laporan Wartawan TribunSolo.com, Asep Abdullah Rowi
TRIBUNSOLO.COM, SUKOHARJO - Jika teringat saat pandemi Covid-19 menjerat kala itu, seakan napas Rabinem sesak.
Ibu 46 tahun itu, harus merasakan pahitnya keadaan yang baru pertama ia alami sepanjang hidupnya.
Bagaimana tidak, biasanya orderan berdatangan bak air mengalir tanpa henti, segalanya berubah dalam sekejap kerena pandemi di Desa Ngrombo, Kecamatan Baki, Kabupaten Sukoharjo.
Ya, karena tak ada orderan sama sekali kala suasana begitu mencekam.
Siapa saja kena jeratan, siapa saja pusing bukan kepalang.
"Mboten enten (tak ada) orderan, 0 (nol) pemasukan," celetuk dia dengan bahasa campuran Jawa-Indonesia kepada TribunSolo.com, Senin (25/7/2022).
“Uang seberapun berarti, sehari dapat Rp 50.000 misalnya sudah bisa buat beli beras dan lauk untuk saya dan anak,” tuturya.
Pasalnya Rabinem selama ini mengandalkan hidup dari kerajinan gitar.
Dia bertahun-tahun menjadikan penghasilan dari gitar agar dapur tetap ngebul seperti lainnya.
"Gitar bukan benda asing, riyen kerjo teng (dulu kerja di) pabrik gitar di Bandung," aku dia.
Baca juga: PLN Ajak Negara-negara G20 Berkolaborasi Demi Percepat Transisi Energi di Indonesia
Baca juga: Menteri Investasi Bahlil, Gibran hingga Delegasi Tutup Acara TIIWG G20 dengan Joget Poco-poco
Setelah pulang kampung, janda anak satu itu harus membiayai hidupnya dan putranya.
Mengingat jalan hidupnya harus diterima, karena berpisah dengan suaminya.
Hasilnya sekitar enam tahun sebelum pandemi memproduksi gitar, terbilang memuaskan.
"Dari gitar, juga bisa renovasi rumah, nggih neg (dulu kalau) hujan bocor dan kayune nggih mpun keropos (kayunya keropos), kini alhamdulillah sudah ditembok," aku dia semringah.
Rabinem membeberkan, sebelum pandemi, uang seakan mengalir sehingga bisa memasak dan memenuhi kebutuhan.
Jika banyak orderan, dalam sehari bekerjasama dengan adiknya bisa menyelesaikan empat lusin atau 48 gitar setengah jadi mulai gitar sayur, kencrung hingga jumbo.
Dengan jumlah situ, dia mengantongi Rp 100.000 hingga Rp 200.000 dalam sehari yang hasilnya dibagi dengan adiknya.
"Kami tugasnya merapikan gitar, dempul dan nyading (mau dicat), kalau sudah setengah jadi kemudian dikirim," terangnya.
"Gitar ibarat napas, untuk kehidupan bagi kami di Ngrombo," aku dia.
Setali tiga uang, Trianingsih juga sempat mengalami pahitnya dalam usaha kerajinan gitar.
Wanita 38 tahun itu, ternyata memiliki garis takdir menjadi perajin gitar selama lima tahun ini.
Meskipun ibu dua anak itu hanya nge-list pinggiran bodi gitar dengan mesin khusus, tetapi pekerjaannya tak banyak yang bisa.
"Awalnya coba-coba, saya pakai alatnya (mesin) di rumah punya suami," tutur dia.
Dengan Ningsih bekerja, bisa membantu suami memenuhi kebutuhan sehari-hari, apalagi dia tak dilarang.
Baca juga: Momen Gibran dan Menteri Investasi Bahlil Tempa Besi untuk Dijadikan Keris di Kirab Budaya G20
Baca juga: Potret Menteri Bahlil dan Gibran Naik Kuda Pakai Kostum Pangeran Keprajuritan di Kirab Budaya G20
"Hasilnya lumayan, bisa buat beli beras dan sayur, gaji suami untuk keperluan sekolah anak dan lainnya," terang dia.
"Senangnya mengerjakan di rumah, bisa sembari mengawasi anak," terang dia.
Dia menceritakan selama pandemi, pendapatannya sempat merosot drastis, hingga tak dapat orderan.
"Padahal kalau ramai seminggu bisa garap 10 lusin, selusin dibayar Rp 50 ribu, jadi bisa dapat Rp 500 ribu," akunya.
Ningsih berharap, dengan mulai normalnya kehidupan ini, dompetnya bisa penuh lagi.
Bahkan saat delegasi Presidensi Group of Twenty (G20) mengunjungi Ngrombo, sebagai perhatian kepada perajin.
"Saat kampung ramai lagi, ada para pejabat dari luar negeri, lihatnya adem dan semangat," harap dia.
Ketua Klaster Gitar Amanah Ngrombo, Sumardi mengungkapkan, jika pandemi Covid-19 yang tak pernah terpikirkan, mengguncang perajin, baik yang kecil hingga besar.
Pasalnya kata dia, keadaan demikian membuat kelimpungan karena seretnya pesanan.
"Semua pusing, selama dua tahun pandemi pesanan merosot, ada yang jualan kuliner," ungkap dia.
"Tetapi tidak gulung tikar, hanya vakum demi bertahan hidup," jelasnya menekankan.
Menurut Sumardi, pendemi membuat usaha di Ngrombo yang menjadi salah satu klaster gitar terbesar di Indonesia, berantakan.
Bagaimana tidak, biasanya pendapatan mengalir deras, tiba-tiba macet.
Baca juga: 15 Putri Indonesia 2022 Bakal Meriahkan Kirab Budaya G20 Solo Batik Carnival
Maklum, karena lanjut dia, setiap hari 225 perajin bisa menghasilkan ratusan gitar dengan harga murah hingga mahal.
Tak hanya 225 perajin yang menggantungkan hidup, tetapi setiap perajin memiliki keluarga, sehingga gitar menjadi urat nadi kehidupan di Ngrombo.
Bahkan kata dia, banyak prempuan menjadi perajin gitar seperti Rabinem dan Trinaningsih.
"Tak ada sekat, yang usia tua (bapak-bapak) banyak, yang muda di atas 20 tahunan mencapai 50 persen, selain itu para prempuan juga," aku dia.
Dia menekankan, beragamnya perajin, menandakan guitar menghidupi banyak warga.
"Gitar jadi penghidupan nyata, hasilnya ada dan jelas, tak ada batas hai kamu pria, hai kamu wanita, hai kamu anak muda, tak ada anggapan itu," paparnya. (*)