Klaten Bersinar
Selamat Datang di Klaten Bersinar

Berita Sragen Terbaru

Kisah Dusun Penenun di Kalijambe Sragen, Warga Sudah Mulai Menenun Sejak Tahun 1960

Ada sebuah dusun di Sragen bernama Dusun Wonosari. Warga disana sudah memiliki kemampuan menenun sejak tahun 1960an.

TribunSolo.com/Septiana Ayu Lestari
Darmono memegang sarung goyor buatan tangan warga Dusun Wonosari, Desa Sambirembe, Kecamatan Kalijambe, Kabupaten Sragen saat ditemui dalam Sragen Expo 2022 di Gunung Kemukus, Sabtu (13/8/2022). 

Laporan Wartawan TribunSolo.com, Septiana Ayu Lestari

TRIBUNSOLO.COM, SRAGEN - Kecamatan Kalijambe, Kabupaten Sragen terkenal akan industri mebelnya. 

Bahkan, pabrik mebel milik keluarga Presiden Joko Widodo salah satunya ada di Kecamatan Kalijambe.

Di tengah-tengah industri mebel tersebut, ternyata ada salah satu Dusun yang menjadi sentra pembuatan kain tenun, yakni Dusun Wonosari, Desa Sambirembe.

Hampir seluruh warganya merupakan penenun, baik yang bekerja di rumah maupun menjadi buruh tenun di Kabupaten Sukoharjo dan Kota Solo.

Kepala Dusun Wonosari, Darmono (44) mengatakan keberadaan penenun di dusunnya sudah ada sejak tahun 1960an.

"Mayoritas warga Dusun Wonosari adalah penenun, jumlahnya ada ratusan, sudah ada sejak 1960an, cuma mereka kebanyakan buruh di Solo dan Sukoharjo," ujarnya kepada TribunSolo.com, Sabtu (13/8/2022).

Baca juga: Luncuran Material Merapi Terlihat di Dusun Stabelan Boyolali, Tak Pengaruhi Aktivitas Warga

Tak hanya berhenti sampai disitu, keahlian menenun diturunkan dari generasi ke generasi bahkan hingga sampai saat ini.

Kemudian, Darmono berinisiatif untuk mewadahi dan melestarikan penenun yang ada di Dusunnya. 

Sekitar tahun 2015-2016, Darmono membuka UMKM dengan nama Margo Lawe, yang pekerjanya diambil dari para penenun yang bekerja di luar Kabupaten Sragen tersebut.

Kini, terdapat sekitar 400 pekerja, baik karyawan maupun penenun yang tergabung dalam UMKM Margo Lawe, sedangkan 130 orang diantaranya merupakan penenun. 

"Saat itu masih banyak penenun yang bekerja sebagai buruh di Sukoharjo atau Solo, akhirnya saya minta pulang dan bekerjasama dengan saya," jelasnya.

"Total ada 400 orang, punya tugas masing-masing, ada yang mengikat, mewarnai, dan menenun itu sendiri, karena memang proses menenun ada banyak," tambahnya.

Biasanya mereka menenun di rumah masing-masing, karena hampir di setiap rumah memiliki alat tenun.

Dengan teliti, satu persatu benang ditenun hingga menjadi sehelai kain dengan beragam motif.

Para penenun ada yang mengerjakan disela-sela bertani dan momong cucu, ada yang memang fokus menenun di rumahnya.

Satu orang bisa mengerjakan hingga 5 helai kain dalam satu minggu.

Penenun tidak hanya dari generasi tua saja, melainkan para generasi muda juga tertarik dengan menenun meski masih dilakukan secara manual. 

"Karena tenun ini, jika sekali sudah bisa akan ingat terus, banyak mahasiswa itu kalau pulang kuliah disambi nenun," katanya. 

Kain tenun yang dihasilkan dibuat menjadi produk sarung yang dikenal sebagai sarung goyor.

Sarung goyor buatan tangan warga Wonosari kini dipasarkan ke negara-negara Timur Tengah.

Tak hanya itu, kain tenun warga Wonosari juga dipakai sebagai seragam resmi ASN di Kabupaten Sragen, mulai dari Bupati, Kepala Dinas hingga Perangkat Desa setiap hari Selasa.

Tak heran, menurut Darmono penghasilan para penenun lebih besar dari gaji buruh pabrik bahkan ASN sekalipun. 

"Kalau di saya ada tukang gambar (desain motif) satu minggu bisa Rp 1 juta, kalau penenun dihargai Rp 75.000 satu lembarnya, satu orang bisa menghasilkan 5-10 lembar per minggunya," terangnya. 

Dari situlah, saat ini warga Wonosari banyak yang bisa menyekolahkan anak-anak mereka ke perguruan tinggi. (*) 

Sumber: TribunSolo.com
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved