Berita Klaten Terbaru
Kisah Warijo, Penjual Es Puter Asal Klaten : Jerih Payah 45 Tahun Terbayar, Anak Sulung Lulus SMK
Berjualan es puter menjadi salah satu cara warga Dukuh Bugel, Desa Krakitan, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten untuk bertahan hidup di perantauamn.
Penulis: Ibnu DT | Editor: Adi Surya Samodra
Laporan Wartawan TribunSolo.com, Ibnu Dwi Tamtomo
TRIBUNSOLO.COM, KLATEN - Berjualan es puter menjadi salah satu cara warga Dukuh Bugel, Desa Krakitan, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten untuk bertahan hidup di daerah perantauan, termasuk di Jakarta.
Para perantau asal dukuh tersebut tak ragu untuk menjajakan es puter dagangannya dari gang ke gang.
Mereka awalnya menggunakan gerobak dorong namun kini sudah beralih ke gerobak kayuh atau bahkan sepeda motor.
Seperti yang dilakukan, Warijo (62). Dia sudah berjualan es puter sejak tahun 1977 dengan mengawalinya di Jakarta.
“Dulu awalnya diajak adik saya tahun 1977 merantau ke Jakarta, Di sana saya diajari membuat es puter,” ujar Warijo kepada TribunSolo.com Selasa (16/8/2022).
Setelah menguasai cara membuat es puter, Warijo lantas mulai jadi pedagang es keliling kampung-kampung di daerah Ibu Kota tepatnya di sekitar wilayah Kemayoran, Jakarta Pusat.
Namun, Lambat laun warga yang merantau dan berjualan es puter memilih pensiun dan pulang kampung diantaranya lantaran faktor usia.
Baca juga: Cerita di Balik Omah Bendera di Krakitan Klaten : Dulu Rumah Wonosegoro, Pejuang Awal 1900-an
Baca juga: Meriahnya Agustusan di Desa Krakitan Klaten: Kirab 77 Bendera Merah Putih dan Tumpeng
Diantaranya adalah Warijo, dirinya memilih pulang kampung sejak 2019 lalu dan memindahkan bisnis yang selama puluhan tahun itu ia jalani di kampung halamannya.
Diakuinya dengan perubahan zaman, saat ini minat masyarakat untuk membeli es puter sudah tak lagi seperti dulu.
Lantaran es krim buatan pabrik semakin mudah ditemui hingga di pelosok kampung sekalipun.
Namun, dengan adanya pesaing itu dirinya tetap bertahan berjualan es puter yang diolah secara tradisional.
Diungkapkan Warijo, jika penghasilan dari berjualan es puter selama puluhan tahun itu dinilai cukup untuk menghidupi keluarga serta membiayai pendidikan ketiga anaknya.
“Anak saya tiga. Anak pertama sudah lulus SMK dan kini bekerja di salah satu pabrik di Bogor. Mereka dibesarkan, ya dari hasil jualan es puter,” ungkap Warijo.
Selama tiga tahun terakhir ini dirinya tetap setia dengan gerobak kayuh berwarna kuning miliknya untuk berjualan.
Selayaknya gerobak yang menjual es puter, gerobak miliknya juga dilengkapi dengan alat musik gamelan bernama kenong yang sudah menjadi ciri khas gerobak es puter.
Bahkan dengan alat tersebut masyarakat lebih familiar dengan nama es dung-dung dari pada nama es puter.
Selain itu, ada hal lain yang membuat gerobaknya berbeda, yakni tulisan ojo dumeh.
Dari tulisan itu, dirinya ingin mengingatkan agar orang-orang yang tidak melupakan asal-usul mereka.
Ditemui secara terpisah, salah satu warga Dukuh Bugel, Asim Sulistyo (53), jika lebih dari separuh penduduk desa itu merantau dan bekerja sebagai berjualan es puter di berbagai wilayah di pulau Jawa.
“Warga yang kebanyakan tidak punya tanah untuk digarap, akhirnya mereka mencari pekerjaan dengan merantau. Hampir 60 persen warga itu merantau,” ujar Asim.
Dari hasil jualan es puter itu, banyak warga yang mampu menyekolahkan anak mereka hingga ke jenjang perguruan tinggi.
“Ada yang akhirnya jadi pegawai bank serta dosen ya dari jualan es tong-tong ini. Pakde saya itu dulunya jualan (es puter) di Jakarta dan anaknya menjadi pegawai semua,” jelas Asim.
Asim menjelaskan tren merantau menjadi pedagang es krim itu belakangan mulai memudar lantaran faktor usia.
Hingga kini, tersisa segelintir warga kampung tersebut yang masih eksis berjualan es puter termasuk Warijo.
Hal yang sama disampaikan oleh Kepala Desa Krakitan, Nurdin, bahwa warga di Dukuh Bugel banyak yang merantau keluar daerah menjadi pedagang.
"Kalau dulu (warga) yang jualan es puter itu ada di daerah Jepara, Surabaya, Jakarta dan lain sebagainya," ujar Kades Krakitan itu.
Bahkan tak sedikit yang kini sukses menjadi juragan es puter, sedangkan dahulu mereka merantau hanya sebagai penjual saja.
Sejak tahun 1980-an warga desa tersebut sudah banyak yang merantau sebagai penjual es puter.
Namun di sekitar tahun 2000-an banyak perantau yang pulang kampung, diantaranya karena faktor usia yang sudah senja sehingga ingin meneruskan jualannya di kampung halaman saja.
"Hingga kini masih ada yang merantau sebagai penjual es (puter) namun jumlahnya sudah menurun dibandingkan dulu," tambahnya
Bahkan dari jualan es puter tersebut, sudah bisa melahirkan generasi terpelajar yang menjadi tokoh masyarakat.
"Karena dulu kebanyakan orang tua disini jualan es dung-dung dan hasilnya untuk menyekolahkan anaknya sehingga sekarang banyak yang sudah sukses," jelasnya.
"Salah satunya almarhum bapak Samirin, mantan Bupati Sleman," pungkasnya.
(*)