Berita Karanganyar Terbaru
Kondisi Makam Amir Sjarifoeddin, Mantan Perdana Menteri Indonesia : Dipenuhi Semak Belukar
Makam Amir Sjarifoeddin, mantan perdana menteri Indonesia di Kabupaten Karanganyar kurang terawat.
Penulis: Mardon Widiyanto | Editor: Adi Surya Samodra
Laporan Wartawan TribunSolo.com, Mardon Widiyanto
TRIBUNSOLO.COM, KARANGANYAR - Mr Amir Sjarifoeddin Harahap merupakan salah satu tokoh yang berjasa dalam memperjuangkan Kemerdekaan Republik Indonesia dan pernah menjabat sebagai Perdana Menteri ketika Revolusi Nasional Indonesia sedang berlangsung.
Namun, jasa pria asal Medan, Sumatera Utara pun tercoreng karena terlibat pemberontakan PKI yang biasa dikenal Peristiwa Madiun 1948.
Pada tahun 1948, ia dieksekusi mati oleh pemerintah dan dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum Nyaliyan yang berada di Lingkungan Ngaliyan, Kelurahan Lalung, Kecamatan Karanganyar, Kabupaten Karanganyar.
Berdasarkan pantauan TribunSolo.com, di TPU Nyaliyan, Ngaliyan, Lalung, Karanganyar, Kabupaten Karanganyar, saat memasuki gerbang kompleks permakaman, makam Amir Sjarifuddin berada di bagian utara.
Nampak makam dengan dipasang keramik merah dan batu nisan kecil.
Terlihat di dalam batu nisan tersebut tertulis, " Rest In Peace Mr Amir Sjarifoeddin Lahir: Medan 27-5-1907, Wafat : Nyaliyan, 19-12-1948,"
Kemudian nampak, makam tersebut dikelilingi rerumputan liar di sana.
Selain itu, juga terdapat 10 makam yang terbuat dari bangunan semen berjajar di kanan makam Amir Sjarifuddin.
Sepuluh makam tersebut yaitu Maruto Darusman, Suripno, Oei Gwee Hwat, Joko Suyono, Katam Hadi, Rono Marsono, D. Mangku, Sardjono, Maryono, Sukarno.
Baca juga: Upacara HUT ke-77 RI di Karanganyar : 12 Orang Eks Napiter Akan Ikut Jadi Peserta Upacara
Baca juga: Ketua DPRD Karanganyar Bagus Selo Turut Soroti Kali Pepe Land yang Diduga Belum Kantongi Izin
Lokasi TPU Ngaliyan berada tak jauh dari wilayah Kota Karanganyar, dan berjarak sekitar tiga kilometer dari kantor Bupati Karanganyar.
Letaknya pun tidak begitu terpencil, hanya sekitar 200 meter dari jalan besar penghubung Kabupaten Karanganyar-Wonogiri.
Kondisi 11 makam ini pun tampak dipenuhi dengan semak belukar.
Pertanda makam-makam tersebut tidak ada yang membersihkan dalam waktu yang lama.
Koordinator Lingkungan Ngaliyan, Ari Yoga mengatakan TPU Ngaliyan merupakan pemakaman umum di Kabupaten Karanganyar.
"Itu (TPU) pemakaman umum untuk masyarakat, dan di sana ada makam salah satu tokoh Indonesia dulu," ucap Ari Yoga kepada TribunSolo.com, Selasa (16/8/2022).
Ari Yoga mengatakan, TPU tersebut tidak ada petugas yang berjaga maupun menjadi juru kunci di sana.
Dia mengaku, makam-makam tersebut dirawat masing keluarga.
"Warga sering datangi TPU tersebut untuk berziarah ke makam keluarga, kecuali makam Amir Sjarifoeddin Harahap, jarang yang berziarah ke sana," pungkasnya.
Sementara itu, dilansir TribunSolo.com dari situs Perpusnas, Amir Sjarifuddin adalah seorang tokoh Indonesia, mantan menteri, dan perdana menteri pada awal berdirinya negara Indonesia.
Amir memulai jenjang pendidikannya di ELS atau sekolah dasar Belanda di Medan pada tahun 1914 hingga selesai Agustus 1921.
Kemudian atas tawaran saudara sepupunya, T.S.G. Mulia yang baru saja diangkat sebagai anggota Volksraad, Amir meneruskan sekolahnya di kota Leiden.
Pada periode 1926-1927, Amir aktif sebagai anggota pengurus perhimpunan siswa Gymnasium di Haarlem dan selama masa itu pula Amir sering terlibat dalam diskusi-diskusi kelompok Kristen.
Salah satunya di kelompok CSV-op Java yang menjadi cikal bakal dari GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia).
Namun Amir tidak dapat menyelesaikan pendidikannya di Leiden, karena pada September 1927 setelah lulus ujian tingkat kedua, Amir harus kembali ke Medan karena masalah keluarga, walaupun teman-teman dekatnya mendesak agar menyelesaikan pendidikannya di Leiden.
Setelah itu Amir meneruskan kembali pendidikannya di Sekolah Hukum di Batavia dan tinggal di asrama pelajar Indonesisch Clubgebouw, Kramat 106, bersama dengan senior satu sekolahnya Mr. Muhammad Yamin.
Menjelang invasi Jepang ke Hindia Belanda, Amir berusaha menyetujui dan menjalankan garis Komunis Internasional agar kaum kiri menggalang aliansi dengan kekuatan kapitalis untuk menghancurkan Fasisme.
Amir diminta oleh anggota-anggota kabinet Gubernur Jenderal, menggalang semua kekuatan anti-fasis untuk bekerja bersama dinas rahasia Belanda dalam menghadapi serbuan Jepang.
Rencana tersebut tidak banyak mendapat sambutan, ini disebabkan karena rekan-rekan Amir sesama aktivis masih belum pulih kepercayaannya terhadap Amir akibat polemik yang terjadi di awal tahun 1940-an dan mereka tidak paham akan strategi Amir melawan Jepang.
Pada bulan Januari 1943 Amir tertangkap oleh fasis Jepang.
Kejadian ini diartikan sebagai terbongkarnya jaringan organisasi anti fasisme Jepang yang sedikit banyak mempunyai hubungan dengan Amir.
Melalui beberapa sidang pengadilan tahun 1944, hukuman terberat dijatuhkan pada para pemimpin Gerindo dan Partindo Surabaya.
Setelah Peristiwa Madiun 1948, pemerintah menuduh PKI berupaya untuk membentuk negara komunis di Madiun dan menyatakan perang terhadap PKI.
Amir sebagai salah seorang tokoh PKI yang pada saat terjadi peristiwa Madiun sedang berada di Yogyakarta dalam rangka kongres Serikat Buruh Kereta Api (SBKA) juga ditangkap beserta beberapa orang temannya.
Tanggal 19 Desember 1948, sekitar tengah malam, di dekat desa Ngalihan, Amir Sjarifuddin tewas ditembak dengan pistol oleh seorang letnan Polisi Militer.
Sebelumnya beberapa orang penduduk desa setempat telah diperintahkan untuk menggali sebuah lubang besar.
Dari sebelas orang yang diangkut dengan truk dari penjara di Solo, Amir orang pertama yang dieksekusi malam itu.
(*)