Berita Sragen Terbaru
Warga Sekitar Museum Sangiran Mengeluh Soal Status, 12 Tahun Kerja Masih Honorer, Padahal Sarjana
Warga sekitar Museum Sangiran yang menjadi honorer mengeluhkan status mereka. Padahal mereka sudah bekerja 12 tahun lamanya, namun belum ada kejelasan
Penulis: Septiana Ayu Lestari | Editor: Ryantono Puji Santoso
Laporan Wartawan TribunSolo.com, Septiana Ayu Lestari
TRIBUNSOLO.COM, SRAGEN - Situs Purbakala Sangiran merupakan wisata andalan di Kabupaten Sragen, bahkan Indonesia.
Betapa tidak, situs tersebut merupakan salah satu situs terpenting di bidang kepurbakalaan dunia.
Situs Sangiran pun sudah ditetapkan oleh UNESCO sebagai situs warisan budaya dunia sejak tahun 1996.
Kini pun terdapat beberapa museum yang menyimpan fosil-fosil peninggalan zaman purbakala.
Meski begitu, ratusan warga di sekitar Museum Sangiran mengeluhkan tidak dilibatkan menjadi pengelola Museum Sangiran.
Selama ini, mayoritas warga sekitar hanya direkrut untuk menjadi pegawai honorer.
Sedangkan sisanya, mencari nafkah dengan berjualan suvenir dan makanan.
Salah satunya dialami anak Warsono, yang sudah menjadi pegawai honorer selama 12 tahun.
"Museum ini kan padahal sudah termasuk (wisata) dunia, namun ada masalah pengangkatan pegawai terhadap masyarakat di Sangiran," katanya kepada TribunSolo.com, Rabu (11/1/2023).
"Hanya proses pendaftaran PPPK sampai terlambat itu bagaimana? tetapi mbok ya ada perhatian terhadap warga Sangiran, mbok segera ada status, walaupun tidak pegawai negeri, PPPK tidak masalah," tambahnya.
Selama ini, warga sekitar Sangiran yang menjadi tenaga honorer hanya digaji sebatas besaran Upah Minimum Kabupaten (UMK) Sragen.
Dimana mereka hanya mendapat gaji sekitar Rp 1,8 juta sampai dengan Rp 2 juta.
"Gaji honorer tergantung UMK Sragen, Rp 1,8 juta itu entah sarjana atau tidak, gajinya sama," terangnya.
Baca juga: Nestapa Penjual Suvenir di Museum Sangiran Sragen : Wisatawan Wira-wiri, Tapi Pulang Tak Bawa Uang
"Warga sekitar ada 100an orang, masa kerja sudah puluhan tahun, anak saya hampir 12 tahun, tapi masih honorer," imbuhnya.
Hal yang sama juga dialami oleh Subur, yang mana anaknya merupakan sarjana Arkeologi Universitas Gadjah Mada.
Namun, meski memiliki gelar, anak Subur juga hanya dipekerjakan sebagai tenaga honorer saja.
"Anak saya sama, padahal lulusan Arkeologi UGM, dan sudah saya ajak ikut meneliti sejak kecil, sampai sekarang masih menjadi pegawai honorer," ujarnya.
Warga sekitar Museum Sangiran pun berharap agar mereka bisa diangkat menjadi PPPK atau PNS.
Atau setidaknya Museum Sangiran lebih banyak mempekerjakan warga lokal.
Sementara itu, Kepala Balai Pelestarian Situs Manusia Purba (BPSMP) Sangiran, Iskandar Mulia Siregar mengatakan pengangkatan PPPK menjadi kewenangan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI.
"Kalau kebijakan penerimaan PPPK memang adanya di pusat ya, kita mengikuti, sebenarnya ini sedang ada proses perekrutan PPPK di pemda, tapi tidak disini," katanya.
Ia mengatakan, ada beberapa kali usulan secara lisan kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
"Kalau menyampaikan secara lisan ada, tapi untuk formasi itu pasti kita akan diminta secara resmi dari Jakarta, disana ada analisis jabatan, kita butuh formasi tertentu atau tidak, jika butuh nanti mereka akan meminta syarat-syaratnya," terangnya. (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.