Tudingan KDRT Dosen UNS
Korban KDRT Dosen PGPAUD UNS Cabut Laporan Polisi, Proses Hukum Tak Lanjut? Ini Kata Konsultan Hukum
Jika laporan yang termasuk delik aduan, kemudian dicabut, maka proses hukum tidak dapat ditindaklanjuti.
Penulis: Septiana Ayu Lestari | Editor: Vincentius Jyestha Candraditya
Laporan Wartawan TribunSolo.com, Septiana Ayu Lestari
TRIBUNSOLO.COM, SOLO – Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) yang dilakukan oleh Dosen PGPAUD FKIP UNS sudah mencabut laporan kepolisiannya.
Lantas, dengan dicabutnya laporan polisi tersebut, apakah proses hukum juga selesai begitu saja?
Konsultan Hukum di 911 Hotman Paris Wilayah Solo Raya, Dhea Arrum Sasqia Putri mengatakan jika laporan yang termasuk delik aduan, kemudian dicabut, maka proses hukum tidak dapat ditindaklanjuti.
“Iya, jika laporan polisi sudah dicabut, maka kalau delik aduan, ya laporan tidak ditindaklanjuti dan dianggap selesai,” katanya saat dihubungi TribunSolo.com, Kamis (25/5/2023).
Dhea melanjutkan kemungkinan ada upaya dari pihak kepolisian untuk menyelesaikan kasus KDRT yang dilakukan dosen PGPAUD FKIP UNS ini melalui Restorative Justice atau Keadilan Restoratif.
Sehingga, korban mencabut sendiri laporan yang telah ia buat.
“Dan mungkin karena kepolisian mengutamakan penyelesaian ini menggunakan Keadalian Restoratif,” ujar Dhea.
Baca juga: Di Balik Kasus Dugaan KDRT Dosen UNS : BW Ajukan Cerai, Sempat Urus Izin ke UNS Solo
“Yang merupakan langkah Polri dalam mewujudkan penyelesaian tindak pidana dengan mengedepankan keadilan restoratif yang menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan keseimbangan perlindungan serta kepentingan korban dan pelaku pidana yang tidak berorientasi pada pemidanaan merupakan suatu kebutuhan hukum dalam masyarakat,” jelasnya.
Lebih lanjut, Dhea menjelaskan terdapat 4 macam KDRT menurut Undang-undang RI No 23 tahun 2004 tentang KDRT yakni kekerasan fisik, psikis, seksual dan ekonomi atau penelantaran.
Kekerasan fisik digambarkan sebagai suatu perbuatan yang menimbulkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat dan kekerasan psikis, menyebabkan ketakutan, hilangnya percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya atau penderitaan psikis berat pada seseorang.
Sedangkan kekerasan seksual adalah perbuatan berupa pemaksaan hubungan seksual, termasuk dengan cara yang tidak wajar dan tidak disukai, juga pemaksaan hubungan untuk tujuan komersil.
Serta kekerasan ekonomi berbentuk penelantaran dari kewajiban yang seharusnya dilakukan sesuai hukum yang berlaku atau karena persetujuan atau karena perjanjian.
“Semua bentuk kekerasan yang terjadi dalam lingkup rumah tangga bukan termasuk delik aduan, kecuali, kekerasan fisik dan psikis yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, itu sesuai dengan Pasal 44 (4), Pasal 45 (2) dan Pasal 46 UU No 23 Tahun 2004 Tentang PKDRT,” terangnya.
Dengan demikian, menurut Dhea, kekerasan fisik, psikis dan ekonomi merupakan delik umum yang tidak begitu saja dicabut laporannya oleh korban, apalagi berakhir dengan upaya perdamaian.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.