Klaten Bersinar
Selamat Datang di Klaten Bersinar

Politikus PDIP Kritik Keras MK Soal Putusan Pemilu Tak Lagi Serentak: Ini Kejahatan Serius

Politisi PDIP menyoroti putusan MK soal pemilu yang tak lagi serentak. Dia menganggap ini sebuah kejahatan.

|
Tribunnews.com/Igman Ibrahim
KRITIK MK. Politikus PDI Perjuangan (PDIP), Arteria Dahlan saat mengunjungi Mabes Polri, Senin (6/7/2020). Dia mengkritik putusan pemilu tak lagi serentak. 

Arteria Dahlan bahkan menuding MK telah menciptakan norma baru yang seharusnya merupakan domain legislatif.

Ia juga menyinggung konsep UNCAC atau United Nations Convention Against Corruption yang menyatakan meski tidak menerima uang, hakim bisa dianggap melakukan korupsi apabila memperoleh pengaruh.

“Anda nggak dapat uang tapi dapat pengaruh. Sama aja. Itu bagian dari korupsi,” tegasnya.

Lebih lanjut, Arteria Dahlan menyebut bahwa putusan MK dalam perkara 135/PUU-XXI/2024 yang membatalkan keserentakan pemilu lokal dan nasional merupakan bentuk dari manipulasi hukum dan berbahaya bagi keutuhan NKRI.

“Ini kejahatan serius. Kalau kejahatan terhadap ketatanegaraan itu hukumannya mati. Nggak ada urusan,” ucapnya.

Putusan MK

Putusan MK soal pemilu tak lagi serentak ini dibacakan dalam sidang perkara Nomor 135/PUU-XXII/2024 di Gedung MK, Jakarta, Kamis (26/6/2025).

Isi dari putusan ini adalah pemilu akan dibagi menjadi dua tahap:

  1. Pemilu nasional
  2. Pemilu lokal (daerah)

Pelaksanaan pemilu ini ada jeda maksimal dua tahun atau paling lama dua tahun enam bulan sejak pelantikan.

Pemilu Nasional mencakup: 

  • Pemilihan presiden dan wakil presiden
  • Anggota DPR RI
  • Anggota DPD RI

Pemilu Lokal mencakup: 

  • Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur
  • Bupati dan Wakil Bupati
  • Wali Kota dan Wakil Wali Kota
  • Anggota DPRD Provinsi dan Kabupaten/kota

MK menyatakan pelaksanaan seluruh jenis pemilu dalam satu waktu menimbulkan berbagai persoalan teknis, beban kerja, dan berisiko menurunkan kualitas demokrasi.

“Terutama berkaitan dengan kemampuan untuk mempersiapkan kader partai politik dalam kontestasi pemilihan umum,” kata Hakim Konstitusi Arief Hidayat.

MK menilai ketentuan dalam Pasal 167 ayat (3) dan Pasal 347 ayat (1) UU Pemilu serta Pasal 3 ayat (1) UU Pilkada bertentangan dengan UUD 1945, jika dimaknai sebagai keharusan menggelar seluruh pemilu pada waktu yang bersamaan.

Norma hukum terkait teknis pelaksanaan pemilu, menurut MK, wajib disesuaikan dengan penafsiran baru ini.

Sumber: Tribunnews.com
Halaman 2 dari 3
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved