Laporan Wartawan TribunSolo.com, Adi Surya Samodra
TRIBUNSOLO.COM, SOLO - Paku Buwana (PB) III diyakini tidak menandatangani perjanjian Giyanti yang disodorkan kepadanya.
Perjanjian tersebut, seperti diketahui disahkan 13 Februari 1755.
Itu pun disebut-sebut PB III, Pangeran Mangkubumi, dan kongsi dagang Belanda VOC turut menandatangani perjanjian Giyanti.
Akibat perjanjian tersebut, Keraton Mataram kemudian terbagi menjadi dua, yakni Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kasultanan Ngayogyakarta.
• Kerbau Sakral Milik Keraton Solo Mati, Dibalut Kafan dan Didoakan Selama Prosesi Pamakaman
• Sosok GKR Sekar Kencana Putri PB XII di Mata Adiknya: Dikenal Cerdas, Penyabar dan Pandai Karawitan
Putri PB XII, GKR Wandansari alias Koesmoertiyah meyakini PB III tidak turut serta dalam penandatanganan perjanjian tersebut.
Keyakinan tersebut didasarkan pada penelusuran dan penelitian terhadap arsip-arsip kuno.
Termasuk, yang tersimpan di Belanda maupun Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI).
"Kalau lihat di naskah perjanjian, PB III tidak tanda tangan," ucap perempuan yang akrab disapa Gusti Moeng, Rabu (10/2/2021).
"Itu perjanjian antara Mangkubumi dan kompeni," tambahnya.
Kemunculan Perjanjian Giyanti, sambung Gusti Moeng, berdampak pada PB II hingga PB XII memihak Pemerintah Belanda.
Selain itu, status keistimewaan tidak diberikan kepada Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat.
• Sudah Jajal 3 Menu Ransum Bikinan Warga Solo, Putri PB XII Harap Makanan Solo Juga Bisa Jadi Ransum
• Hari ini 75 Tahun Lalu, Terbitlah Piagam Surakarta : Solo Sempat Jadi Daerah Istimewa Seperti Jogja
"Implikasinya yang dikasih keistimewaan, yakni Yogyakarta," ucapnya.
Itu membuat Gusti Moeng mempertanyakan tidak diberikannya keistimewaan kepada Surakarta.
"Yogyakarta diberi keistimewaan, tapi Surakarta belum," tutur dia.
"Ini menjadi beban bagi saya karena dititipi bapak untuk memperjuangkan Daerah Istimewa Surakarta," tambahnya. (*)