WAWANCARA EKSKLUSIF

Mengenal Hong Widodo, Legenda Hidup Persis Solo : Bangga Bermain Buat Persis, Meski tak Dibayar

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Hong Widodo, legenda hidup Persis Solo, membela panji Laskar Sambernyawa di era 1960-1970 an.

Laporan Wartawan TribunSolo, Erlangga Bima

TRIBUNSOLO.COM, SOLO - Hong Widodo merupakan satu dari sekian banyak legenda hidup Persis Solo.

Belasan tahun Hong Widodo membela panji Laskar Sambernyawa di era 1960-1970 an.

Dalam podcast bersama TribunSolo, ia menceritakan perjalannya menjadi seorang atlet sepak bola dan bermain untuk Persis Solo.

Pertama kali ia masuk Persis Solo di usia 17 tahun, saat masih SMA.

"Itu amatir, pure amatir. Jadi tidak ada tidak ada bayaranlah, istilahnya tidak ada bayaran. Jadi setiap kita dipanggil Persis itu suatu kebanggaan," ujarnya.

Hal itu sekaligus menjadi bukti kecintaannya kepada klub daerah.

Saat itu, menjadi pemain Persis Solo menurutnya bukan untuk menghasilkan uang, namun sebuah kebanggaan.

Sebab, di jamannya itu, kebanyakan pemain di suatu klub berasal dari daerah sendiri.

Baca juga: 3 Pelatih yang Bisa Jadi Opsi Persis Solo Gantikan Milomir Seslija: Simak Sosok hingga Prestasinya

Seperti Persis Solo, rata-rata pemainnya, menurut Hong Widodo berasal dari Solo dan sekitarnya.

"Kalau selama saya di Solo, ya jarang sekali ada dari luar. Dari luar mungkin ada satu dua mahasiswa, yang lain pure kebanyakan orang Solo dan sekitarnya dan domisilinya pasti di Solo dan sekitarnya," kata Hong.

Saat itu, kata Hong, pemain tidak mendapatkan gaji. Hanya saja mendapatkan uang saku seadanya. Soal transportasi dan akomodasi ketika bermain ke luar daerah, sudah ditanggung klub.

"Ada uang saku, uang saku ya sekedarnya. Tapi transport ditanggung," ujarnya.

Adapun karirnya menjadi atlet sepak bola karena gurunya.

Sewaktu masih SMP, ia memiliki guru yang merupakan mantan pemain Persis Solo. Gurunya itulah yang menemukan bakat Hong Widodo.

Saat itu ia diajak gurunya untuk ikut klub sepak bola.

Dari situ ia kemudian memiliki ketertarikan untuk bermain sepak bola dan bergabung ke klub.

"Saya juga waktu itu banyak melihat, wah banyak orang chinese-chinese yang main bola, kok bisa? Nah dulu kan tahun-tahun itu kan bagus sekali," kata dia.

Ia menceritakan di jaman itu, belum banyak pembinaan seperti sekolah sepak bola (SBB) seperti sekarang ini. Sehingga menurutnya para pemain minim pembinaan.

"Dulu SSB belum ada, jadi main bola sudah telat kabeh. Saya sudah SMP, sudah telat. SMP sudah 16 tahun baru mulai," katanya.

Untuk menjadi pemain Persis Solo, kata dia, waktu itu ada pencari bakat atau talent scouting yang memantau di kompetisi-kompetisi. Apabila ada pemain bagus dipilih untuk menjadi pemain Persis.

"Saya dulu ikut klub AWM. Kebanyakan terus terang, kalau di Solo orang chinese biasanya TNH. Tapi saya tidak karena lingkungan saya di Keprabon," pungkas dia.

Berita Terkini