Klaten Bersinar
Selamat Datang di Klaten Bersinar

Berita Sragen

Seorang Warga Sragen Nekat Jadi Dokter Gadungan di Bantul: Pasien Divonis HIV, Raup Setengah Miliar

Kasus itu bermula saat seorang warga yang berniat mencari terapi pengobatan untuk anaknya pada Juni 2024.

Penulis: Tribun Network | Editor: Rifatun Nadhiroh
Freepik.com/Dragana Gordic
STETOSKOP DOKTER - Ilustrasi stetoskop yang diunduh dari Freepik.com, Kamis (17/4/2025). Ini berkaitan dengan kasus dokter gadungan asal Sragen, di Bantul. 

TRIBUNSOLO.COM, BANTUL - Wanita berinisial FE (26) asal Kabupaten Sragen, Jawa Tengah nekat pura-pura menjadi dokter di Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta.

FE bahkan telah beroperasi menjadi dokter gadungan sejak Juni 2024 di tempat tinggalnya, di Kapanewon Sedayu, Kabupaten Bantul.

Hanya bermodal internet, FE nekat melancarkan aksinya.

Katanya, ia sejak kecil bercita-cita sebagai dokter, namun ia hanyalah lulusan SMA.

Demi terlihat seperti dokter, FE juga memiliki atribut, alat medis, hingga obat-obatan.

Baca juga: Sosok Diplomat Muda Asal Bantul yang Ditemukan Tewas di Kosan, Ini Percakapan Terakhir Sebelum Tewas

"Tersangka sudah pernah mengambil sampel darah, menyuntik, menginfus, dan dalam kandungan infus itu ada obat. Tersangka juga pernah ngasih obat, bukan memberi resep. Jadi (setelah pemeriksaan kesehatan), tersangka langsung ngasih obat," ungkap Kasat Reskrim Polres Bantul, AKP Achmad Mirza, saat jumpa pers di Polres Bantul, Kamis (18/9/2025).

Sampai saat ini, polisi masih mencari korban-korban lain yang menjadi penipuan dokter gadungan lulusan SMA tersebut.

Terungkap, selama ini, hasil bekerja sebagai dokter gadungan itu dipergunakan untuk keperluan tersangka sehari-hari. 

Tersangka dikenal sebagai dokter di wilayah domisilinya dari mulut ke mulut. Di mana, tersangka memiliki tempat bimbingan belajar dan terdapat murid. Dari situ, tersangka mengaku sebagai dokter.

"Jadi, warga sana, tahunya tersangka adalah dokter," ungkap Mirza.

Tempat 'praktik' tersangka tidak diberi tulisan dokter atau klinik kesehatan.

Jadi, lokasi usaha terapi itu hanya diketahui oleh orang-orang di sekitarnya. 

Sementara itu, tersangka FE yang dihadirkan dalam jumpa pers mengaku dapat ide bekerja sebagai dokter gadungan dikarenakan dulu cita-cita sebagai dokter.

"Dulu cita-cita saya dokter, pak. Jadi sempet khilaf. Maaf," beber tersangka FE.

Tersangka pun mengaku begitu lulus SMA tidak pernah masuk sekolah jurusan kedokteran.

Akan tapi, tersangka nekat belajar kedokteran dan mengenal alat-alat dokter dari internet. 

Ia pun mengaku membuat ID sebagai dokter dan membeli alat-alat kebutuhan medis di apotek. 

"Saya baru ngambil darah saja (kepada korban)," ucap tersangka FE.

Adapun hasil kerja sebagai dokter gadungan itu dipergunakan untuk keperluan pribadi tersangka. Bahkan,uang yang didapatkan sudah habis untuk keperluan pribadi.

"(Tersangka sampai di Bantul) milih lokasi sedapatnya," tutup dia.

Awal Mula Terungkapnya Kasus

FE berhasil menipu korban hingga korban mengalami kerugian lebih dari setengah miliar rupiah. 

AKP Achmad Mirza mengungkapkan tersangka FE terciduk usai ada laporan dokter gadungan.

Kasus itu bermula saat seorang warga yang berniat mencari terapi pengobatan untuk anaknya pada Juni 2024.

Kemudian, tante korban menunjukkan tempat terapi yang beralamatkan di Pedusan, Kalurahan Argodadi, Kapanewon Sedayu, atau tak lain merupakan tempat terapi tersangka FE.

"Akhirnya, korban mendaftar dalam program terapi tersebut. Korban diminta membayar uang senilai Rp15 juta kepada tersangka. Setelah beberapa minggu, FE memberitahu bahwa anak korban terkena Mythomania dan korban diminta membayar biaya tambahan sebesar Rp7,5 juta," ucap dia, saat jumpa pers, Kamis (18/9/2025).

Pada bulan Agustus 2024, korban diminta untuk deposit jaminan pengobatan sebesar Rp132 juta.

Pada bulan November 2024, korban diarahkan untuk membayar biaya pengobatan psikologi senilai Rp7,5 juta dan Rp46,950 juta uang yang sudah ditalangi tersangka.

Akhirnya, korban menyerahkan sertipikat tanah atas nama ayah kandung korban sebagai jaminan kepada tersangka.

"Pada Februari 2025, tersangka memvonis korban menderita penyakit HIV dan menawarkan pengobatan dengan biaya Rp320 juta. Vonis itu didapatkan dari hasil sampel pengambilan darah korban sekeluarga pada waktu pemeriksaan anak korban. Sekitar Juli 2025, korban diminta untuk membayar Rp10 juta dengan iming-iming deposit anak korban turun/cair," tuturnya. 

Selanjutnya, pada September 2025, korban mengecek kebenaran status tersangka sebagai dokter.

Korban juga sempat mencetak hasil pemeriksaan penyakit HIV di RS PKU Gamping. Ternyata, hasilnya negatif.

Atas kejadian itu, korban mengalami kerugian senilai Rp538,950 juta atau lebih dari setengah miliar rupiah.

Laporan korban

Korban selanjutnya, melaporkan kejadian tersebut ke Polres Bantul guna penyelidikan lebih lanjut.

"Setelah mendapatkan laporan tersebut, anggota Unit 2 Tipider Polres Bantul melakukan penyelidikan terkait dugaan tindak pidana penipuan yang terjadi mulai Juni 2024. Beberapa waktu kemudian, anggota Unit 2 Tipikor Polres Bantul mendapatkan informasi bahwa terduga tersangka FE berada di kliniknya," beber Mirza.

Pada Jumlah (5/9/2025), anggota Tipider Unit 2 Polres Bantul mendatangi lokasi tersebut dan berhasil mengamankan terduga tersangka penipuan tersebut.

Setelah dilakukan interogasi, tersangka mengakui perbuatannya dan selanjutnya dibawa ke Polres Bantul untuk dilakukan tindak lanjut. 

"Atas kejadian itu, tersangka disangkakan tindak pidana penipuan/perbuatan Psal 378 KUHP tentang penipuan dengan ancaman pidana yaitu hukuman penjara paling lama empat tahun. Lalu, Pasal 439 UU 17 tahun 2023 dan 441 UU 17 tahun 2023, berupa pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak Rp500 juta," bebernya. (nei)

Fenomena ini menjadi alarm bagi masyarakat untuk lebih waspada dan ada 5 hal penting yang bisa dilakukan: 

- Selalu verifikasi identitas dokter melalui situs resmi KKI (Konsil Kedokteran Indonesia) atau IDI.

- Periksa lokasi praktik apakah terdaftar sebagai klinik atau fasilitas kesehatan resmi.

- Jangan mudah percaya pada diagnosis atau terapi yang tidak disertai bukti medis dan rekam medis resmi.

- Laporkan segera ke aparat jika menemukan praktik mencurigakan.

- Kasus FE menunjukkan bahwa di era informasi digital, pengetahuan medis tidak bisa disamakan dengan kompetensi dokter. Keamanan pasien hanya bisa dijamin melalui tenaga medis yang sah dan berlisensi.

(*)

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved