Makam Ki Ageng Balak Sukoharjo
Kisah Ki Ageng Balak Putra Raja Kerajaan Majapahit, Makamnya di Sukoharjo Rutin Didatangi Peziarah
Ki Ageng Balak disebut-sebut sebagai putra Prabu Brawijaya V, raja terakhir Majapahit, dalam cerita yang diwariskan secara turun-temurun.
Penulis: Anang Maruf Bagus Yuniar | Editor: Rifatun Nadhiroh
Laporan Wartawan TribunSolo.com, Anang Ma'ruf
TRIBUNSOLO.COM, SUKOHARJO - Di balik kisah makam kuno Ki Ageng Balak yang berada di Desa Mertan, Kecamatan Bendosari, Kabupaten Sukoharjo, tersimpan cerita sejarah yang sarat mitos dan kepercayaan.
Banyak orang meyakini, berziarah ke makam ini dapat membawa keberkahan dan menolak bala, termasuk dari penyakit maupun berbagai masalah hidup.
Konon, Ki Ageng Balak adalah sosok keturunan Kerajaan Majapahit dengan nama asli Raden Sujono.
Ia disebut-sebut sebagai putra Prabu Brawijaya V, raja terakhir Majapahit, dalam cerita yang diwariskan secara turun-temurun.
Juru kunci makam Ki Ageng Balak, Sumarno (83), mengatakan bahwa kala itu Raden Sujono tidak sejalan dengan pola pikir ayahandanya, Prabu Brawijaya.
Baca juga: Makam Ki Ageng Balak Sukoharjo: Destinasi Wisata Religi yang Diyakini Bisa Berikan Tolak Bala
Perselisihan tersebut membuatnya meninggalkan Majapahit, ditemani dua pengawal setia, yaitu Tumenggung Simbarjo dan Tumenggung Simbarjoyo.
Dalam perjalanannya, mereka tiba di wilayah yang kini dikenal sebagai Desa Mertan, yang pada masa itu masih berupa hutan dan pegunungan.
“Demi menyamarkan identitasnya dari pihak kerajaan, Raden Sujono kemudian dikenal dengan nama Ki Ageng Balak, yang berarti penolak bala,” tandasnya.
Seiring berjalannya waktu, makam Ki Ageng Balak sering didatangi peziarah dari berbagai daerah, khususnya pada hari-hari Jawa, yakni malam Jumat Kliwon, malam Satu Suro, ataupun saat peristiwa tertentu.
Di makam Ki Ageng Balak juga diselenggarakan ritual Pulung Lengse.
Baca juga: Sosok Ki Ageng Balak, Inti dari Tradisi Pulung Langse di Sukoharjo Jateng, Putra Prabu Brawijaya
Pulung Lengse merupakan agenda tahunan yang biasanya dilaksanakan pada malam terakhir bulan Suro, berupa kegiatan membersihkan kain mori dengan cara mencuci.
Kain mori tersebut biasanya digunakan untuk menutupi makam atau tapak tilas Ki Ageng Balak.
Setelah ritual selesai, kain mori berwarna putih itu dipotong-potong dan dibagikan kepada warga. Kain mori peninggalan Ki Ageng Balak tersebut diyakini dapat menjadi penolak bala.
(*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.