Hakim Pengadilan Tipikor Semarang Jatuhkan Vonis 5 Tahun Penjara untuk Wali Kota Tegal Siti Masitha
Selain hukuman badan, wanita yang disapa Bunda Sitha itu juga dibebani membayar denda Rp 200 juta atau setara dengan 4 bulan kurungan.
TRIBUNSOLO.COM, SEMARANG - Wali Kota Tegal nonaktif Siti Masitha Soeparno divonis 5 tahun penjara atas kasus suap saat ia menjabat sebagai orang nomor satu di Kota Tegal.
Vonis tersebut dibacakan majelis hakim pada Pengadilan Tipikor Semarang, Senin (23/4/2018).
Hukuman itu lebih rendah 2 tahun dari tuntutan KPK yang meminta 7 tahun penjara.
"Menjatuhkan pidana oleh karena itu dengan pidana 5 tahun," ujar ketua majelis hakim Antonius Widjantono, membacakan putusan seperti dikutip TribunSolo.com dari Kompas.com.
Baca: Sidang Kasus Mantan Wali Kota Tegal Siti Masitha, KPK Hadirkan Enam Saksi
Selain hukuman badan, wanita yang disapa Bunda Sitha itu juga dibebani membayar denda Rp 200 juta atau setara dengan 4 bulan kurungan.
Bunda Sitha terbukti menerima suap sebagaimana diatur dalam Pasal 12 huruf B UU Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dan diganti menjadi UU Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 jo Pasal 64 ayat 1 KUHP.
Dalam putusannya, hakim tidak mendapat alasan pembenar ataupun alasan pemaaf dari perbuatan terdakwa menerima suap hingga Rp 7 miliar.
Dari jumlah itu, hakim menemukan Rp 500 juta di antaranya dinikmati oleh terdakwa.
Sementara Bunda Sitha sebelumnya telah menitipkan uang sebesar Rp 85 juta.
"Memutuskan terdakwa untuk tetap di dalam tahanan," ujarnya.
Baca: Mengaku Tak Tahu Aliran Uang, Wali Kota Tegal Nonaktif Siti Masitha Bantah Dakwaan Jaksa KPK
Vonis 5 tahun itu mempertimbangkan banyak hal, antara lain bahwa korupsi dipandang sebagai perbuatan extraordinary crime yang harus diberantas.
Sementara alasan perubahan, yaitu terdakwa sopan, kooperatif, mengakui kesalahannya.
Masitha menerima putusan tersebut. Namun jaksa KPK memilih untuk pikir-pikir.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Terbukti Terima Suap, Wali Kota Tegal Divonis 5 Tahun Penjara" (Kompas.com/Kontributor Semarang, Nazar Nurdin)